Selasa, 03 Februari 2009



TELAAH KUANTITATIF KEBIJAKAN CUKAI ROKOK SPESIFIK 2007
(Tanggapan Bagi Stakeholder Yang Tak Sependapat)
Oleh: Sunaryo

Jika sekedar berpandangan revenued oriented, naik HJE rokok overall 10% maka perdebatan kebijakan cukai rokok untuk tahun 2007 tidak akan panjang. Sepertinya tak perlu-lah tim DJBC kesana kemari berpromosi dan meyakinkan ke berbagai stakeholder dengan kajian detail karena khawatir di-challenge dari berbagai aspek. Terlebih jika aspek target cukai 2007 yang Rp 42,03 triliun “insya Allah” aman tercapai, Departemen Perindustrian menerima, assosiasi industri rokok sepakat, dan tentunya Tim Tarif Departemen Keuangan,- yang baru pertama kali dilibatkan membahas kebijakan cukai 2007, dengan “enteng” menerima daripada bereksperimen dengan sistem baru yang tentunya beresiko terhadap kredibilitas eksistensi Tim Tarif,-”Begitu dilibatkan justru target cukai 2007 tidak tercapai!”.
Sebelum jauh membahas detail kenapa tarif cukai spesifik diperjuangkan DJBC untuk diterapkan, sedikit penulis teringat statement mantan Menteri Keuangan, Bapak Mar’ie Muhammad yang mengkritisi setiap kenaikan target penerimaan disikapi dengan kebijakan perpajakan sebagai strateginya. Dalam suatu kesempatan Beliau berkomentar,”Jangan bicara fiscal policy jika hanya target oriented. Fiscal policy tidak sekedar penerimaan, tapi lebih luas dari itu!” Dan sebagai respon atas saran beliau, Kebijakan cukai dengan memberlakukan sistem tarif cukai spesifik adalah,-menurut penulis, termasuk dalam “koridor” yang diminta karena dengan sistem yang baru ini, DJBC juga memiliki misi pembenahan sistem per-cukai-an yang berlaku sekarang, atau minimal tidak memperparah.

Sistem Cukai Rokok Berlaku
Sebagai pengantar pembaca, bahwa pada cukai rokok saat ini, sistem tarif yang digunakan adalah sistem tarif cukai advalorum. Dasar penggunaanya adalah Pasal 5 Undang-undang Nomor 11 tahun 1995. Cukai dihitung atas dasar besaran persentase dari harga dasar yang ditetapkan pemerintah. Harga dasar sebagai penghitungan cukai dimungkinkan harga jual pabrik atau harga jual eceran. Namun demikian berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 43/PMK.04/2005 jo. PMK 17/PMK.04/2006 ditetapkan bahwa harga dasar untuk penghitungan cukai adalah harga jual eceran.
Sistem cukai advalorum yang diterapkan sekarang tidak lepas dari karakteristik industri rokok Indonesia yang sangat heterogen. Dari kapasitas produksi pabrik, rentang produksi antara pabrik Golongan IIIB dan Golongan I mencapai 60 miliar batang. Dari aspek tenaga kerja, jumlah karyaawan untuk pabrik golongan IIIB sekitar 3-4 orang sedangkan pabrik Golongan I mencapai + 25 ribu orang. Dari pemilik pabrik yang industri rumah tangga yang mencapai + 4000 pabrik sedangkan 4 pabrik adalah perusahaan multinasional. Dengan adanya kondisi real tersebut, tarif cukai advalorum untuk seluruh jenis hasil tembakau dibuat berjenjang berdasarkan jumlah produksi per tahun.
Untuk hasil tembakau jenis SKM, SPM, dan SKT (kontributor 99,8% cukai nasional) tarif cukai advalorum yang berlaku adalah sebagaimana tabel 1 dibawah ini:


Faktor lain yang mendasari sistem advalorum diberlakukan untuk rokok karena sistem ini karena sistem ini responsif dengan inflasi. Dengan dominansi penerimaan cukai rokok yang mencapai 98% dari seluruh penerimaan cukai yang ada, maka dengan pemilihan sistem advalorum dimana HJE yang dijadikan sebagai dasar penghitungan cukai akan terus ter-update yang tentunya akan berdampak pada meningkatnya penerimaan cukai minimal setara dengan inflasi setiap tahunnya.

Fakta Real Cukai Rokok
Sistem tarif cukai advalorum dengan penggolongan pabrik, tarif, dan HJE sebagaimana tabel di atas, selain memiliki misi adil dalam pembebanan, juga memiliki misi pembinaan terhadap industri kecil. Misi pembinaan industri kecil dapat dikatakan tercapai mengingat fakta pertumbuhan pabrik rokok 2000-2006 sangat tinggi. Tahun 2000 jumlah pabrik rokok hanya 777 pabrik sedangkan tahun 2006 menjadi 4416 pabrik (+ 600 %).
Namun demikian, motif pemerintah untuk membina industri kecil untuk menjadi besar tidak sepenuhnya berjalan. Pabrik yang di golongan bawah cenderung “berdiam diri” di golongan tersebut dan bila produksinya melebihi batas atas golongan, langkah yang diambil mereka adalah mendirikan pabrik baru. Sebenarnya “sah-sah saja” jika yang mendirikan pabrik baru ini memang bertujuan untuk berproduksi secara benar. Kebanyakan diantara mereka sekedar untuk mendapatkan pita cukai untuk dijual kembali yang jelas-jelas tidak diperbolehkan oleh Undang-undang Cukai.
Fakta real berikutnya adalah “gap” nominal tarif dan HJE antar golongan pabrik dan juga antar jenis rokok. Posisi saat ini HJE terendah untuk SKT golongan IIIB adalah Rp 255 per batang sedangkan untuk golongan I SKT adalah Rp 440 per batang (173%). Demikian juga gap tarif kedua jenis tersebut: SKT IIIB 4% sedangkan SKT golongan I 22% (550%). Hal sama juga berlaku untuk jenis SKM dan SPM (lihat tabel 1).
Hal lain yang dipertimbangkan adalah terkait dengan Harga Transaksi Pasar (HTP) rokok. Akibat perkembangan HJE yang tingkat persentase melebihi tingkat inflasi setiap tahunnya, HTP telah jauh lebih rendah dari HJE yang berlaku. Data Direktorat Cukai mencatat untuk pabrik skala besar yang memiliki HTPnya sekitar 25% dari HJE dan pabrik skala kecil mencapai 50% dari HJE.

Cukai Spesifik dan Dampaknya
Tujuan pertama pemberlakuan tarif spesifik dalam rangka mengurangi gap harga transaksi pasar (HTP) dan HJE. Kalkulasinya sebagai berikut: Misalkan rokok jenis SKM golongan besar dengan HJE per batang Rp 600 dan tarif cukai 40%. Jumlah cukai yang dibayar pengusaha adalah 40% x Rp 600 = Rp 240 per batang. Pungutan lain adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 8,4% x Rp 600 = Rp 50,4%. Asumsikan keuntungan untuk distributor adalah 5% dari harga per batang, maka uang yang dishare ke distributor adalah Rp 5% x Rp 600 = Rp 30. Dengan demikian pengusaha rokok akan menerima sisanya Rp 279,6 per batang. Misalkan diasumsikan jika rokok tersebut dijual dengan harga 25% dari HTP atau Rp 450 per batang. Maka jumlah cukai dan PPN yang dibayar pengusaha ke Negara tetap karena dasar pungutan HJE bukan HTP. Dengan kondisi ini maka nominal uang yang diterima pengusaha hanya Rp 129,6. Jika tarif cukai spesifik yang dikenakan pada rokok ini dimisalkan Rp 10 per batang, maka ada dua kemungkinan respon pengusaha. Pertama, pengusaha akan menaikan HTP Rp 10 per batang (cukai menjadi Rp 240 + Rp 10 = Rp 50 per batang) sebagai respon kenaikan cukai. Pertimbangan ini reasonable karena cost production adalah tetap dan PPN juga tetap karena HJE tidak berubah. Kemungkinan kedua adalah pabrik yang rokoknya sangat responsif dengan harga. Pabrik ini tidak menaikan HTP melainkan dengan mengurangi cost production yang ada dari Rp 129,6 menjadi Rp 119,6. Konsekuensinya adalah keuntungan pengusaha berkurang dari tahun sebelumnya. Dan ini situasi yang kecil kemungkinan dilakukan karena motif utama pabrik pasti mendapatkan keuntungan minimal sama dengan tahun sebelumnya. Kalau toh pabrik merespon dengan mengurangi keuntungan per batang, maka langkah yang ditempuh dengan menggenjot produksinya, dan kembali pemerintah ikut “numpang anget” dengan respon pabrik ini (lihat tabel 2).








Alasan kedua yang mendasari pengenaan tarif cukai spesifik adalah meringankan pengusaha rokok menerima beban dua kali sebagai dampak kenaikan HJE: beban cukai dan PPN. Dengan kalkuasi HJE diatas, dalam hal Pemerintah menaikkan HJE 10%, maka pengusaha akan menerima beban dua kali: pertama kenaikan cukai 10% dari HJE dan kenaikan PPN 10% dari HJE. Sedangkan jika dengan sesitem spesifik maka pengusaha hanya dibebani Rp 10 per batang dan PPN tidak berubah dari sebelum kebijakan cukai.

Kenapa Pengusaha Rokok Menolak?
Yang menjadi pertanyaan, kenapa pengusaha menolak? Mungkin kalau menurut penulis karena sistem ini adalah baru. Bagi pengusaha tentu perlu mengubah peta dan strategi cara bersaing, khususnya dari aspek HTP. Jika sebelumnya dengan HJE dinaikan pengusaha sudah jelas siapa pesaingnya di-layer HJE yang sama. Kenaikan HJE yang ditetapkan Pemerintah juga menguntungkan pengusaha dari segi timing penyesuaian HTP di pasar karena pengusaha pabrik diwajibkan menaikan HJE secara serentak. Jadi Pabrik tidak perlu saling menunggu kapan menaikan HTP.
Alasan kedua, pengusaha sangat takut dalam hal sistem spesifik digunakan sebagai pijakan untuk menuju spesifik murni. Beberapa pihak mengambil istilah “lonceng kematian”. Padahal jika melihat karakteristik karakteristik industri rokok indonesia, sepertinya sistem tarif cukai spesifik murni, masih sangat jauh untuk diberlakukan. Pertama dari aspek jumlah pabrik rokok yang akan berdampak pada matinya 95% industri rokok kecil. Kedua, jenis rokok yang dibuat di Indonesia ada empat macam: Sigaret Kretek, Sigaret putih, Rokok Daun, Cerutu, dan TIS. Mungkin jika mempertimbangkan misi pengenaan cukai, perbedaan jenis rokok tersebut dapat diabaikan terkait dengan pembebanan cukainya. Namun jika melihat proses pembuatannya, sepertinya pembebanan yang sama akan beban cukainya adalah sesuatu yang tidak wis. Dengan demikian dalam hal dalam perjalanan memang dikehendaki memberlakukan sistem spesifik murni, paling tidak yang dibuat dengan tangan yang merupakan asli produk Indonesia harus dibedakan beban cukainya.

****
Penulis Adalah Kepala Seksi Analisis Tarif Harga dan Produksi CHT
Dit Cukai

Tidak ada komentar:

Posting Komentar