Rabu, 04 Februari 2009

Tahun 2009 Tarif Cukai Rokok Naik 7 Persen

Rabu, 07/01/2009 - 22:56



Mulai 1 Februari pemerintah memberlakukan tarif cukai baru yang rata-rata naik sebesar 7 persen.
Kebijakan pemerintah dengan menaikkan tarif cukai hasil tembakau sebesar 7 persen ini bertujuan untuk mengendalikan konsumsi rokok dan mencapai target penerimaan cukai 2009 sebesar Rp. 48,2 triliun. Otomatis, dengan adanya kenaikan ini, maka dipastikan akan ada kenaikan Harga Jual Eceran (HJE) yang besarnya tergantung dari kebijakan masing-masing produsen rokok dengan mempertimbangkan daya beli konsumen.
Kebijakan ini efektif diberlakukan pada 1 Februari 2009 seperti diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 203/PMK.001/2008 tanggal 9 Desember 2008. Dalam peraturan ini, perusahaan rokok bisa menetapkan harga transaksi pasar sebesar 5 persen di atas HJE dengan skema pengaturan yang terdapat pada pasal 9 PMK No.203.
Untuk mengantisipasi pemberlakukan tarif cukai baru pada Februari 2009, pada 15 Desember 2008 lalu, bertempat di auditorium gedung B, Kantor Pusat Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) melaksanakan sosialisasi PMK Nomor 203/PMK.011/2008 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau.
Sosialisasi dihadiri oleh para pegawai khususnya perwakilan dari bidang cukai Kantor Bea dan Cukai di seluruh Indonesia dan dibuka secara simbolis oleh Direktur Cukai, Frans Rupang. Sebagai nara sumber dalam sosialisasi tersebut, Kasubdit Cukai Hasil Tembakau, Pattarai Pabottinggi yang menjelaskan pasal demi pasal dalam PMK Nomor 203, Kasi Perijinan dan Fasilitas Hasil Tembakau, Nur Rusdi yang menjelaskan secara teknis pelaksanaan ketentuan PMK 203,dan Sunaryo analis tarif cukai yang saat ini bertugas sebagai PFPD di KPU Tanjung Priok, menerangkan tentang Peraturan Direktur Jenderal Nomor 35 tentang Tata Cara Penetapan Tarif Cukai Hasil Tembakau .
Kepada WBC Frans Rupang mengemukakan, alasan dilakukannya sosialisasi sesuai dengan kebijakan baru dibidang cukai untuk tahun 2009 yang baru saja ditandatangani Menteri Keuangan, sedangkan dalam rangka kelancaran pelaksanaannya pada 1 Februari 2009 harus segera dilakukan sosialisasi ke kantor-kantor bea cukai khususnya yang terkait dengan masalah pemungutan cukai.
Namun dikarenakan waktu yang mendesak dan untuk mempercepat pelaksanaan sosialisasi maka Kantor Pusat mengundang semua kantor yang terkait dengan cukai untuk mengikuti sosialisasi. Diharapkan selanjutnya perwakilan yang telah mengikuti sosialisasi dapat memberikan ilmunya kepada pegawai-pegawai di daerah, untuk memberitahukan apa saja yang harus pegawai lakukan dalam rangka memperlancar peraturan menteri tersebut.
Karena itu, lanjut Frans, pegawai harus memahami isi dari PMK 203. Disamping itu juga, dalam rangka pelaksanaan PMK tadi terdapat Peraturan Dirjen No. 35 dan peraturan yang mengikutinya yaitu surat edaran dirjen. Peraturan-peraturan inilah yang akan disosialisasikan, agar aparat di lapangan memahami permasalahannya. “Bagaimana mengenai pita cukainya, apa yang harus dilakukan kepala kantor untuk mengantisisipasinya, baik dari sisi pelayanan pita cukai maupun melayani pertanyaan-pertanyaan dari pabrik rokok yang nantinya akan datang ke kantor-kantor pelayanan.”
Kalau pada tahun 2008, lanjut Frans, masih diberlakukan dua jenis tarif, yaitu advalorum dan spesifik, maka untuk tahun 2009 tidak ada lagi tarif advolurum melainkan hanya diberlakukan tarif spesifik untuk semua jenis tembakau. “Ini merupakan salah satu kebijakan yang sangat mendasar untuk tahun 2009,” ujar Frans.
Disamping itu ada beberapa kebijakan dan perubahan yang terjadi di bidang cukai antara lain, jika pada tahun sebelumnya masih ada insentif untuk ekspor hasil tembakau,tahun 2009 insentif itu hilang. Kemudian terjadi penyederhanaan golongan. Untuk Sigaret Kretek Mesin (SKM) yang sebelumnya terbagi menjadi golongan I, II dan III kini tinggal dua golongan yaitu golongan I dan II saja.Begitu juga untuk Sigaret Putih Mesin (SPM)tinggal 2 golongan, yaitu I dan II.
“Namun penyederhanaan golongan tidak berlaku bagi sigaret kretek tangan (SKT) yang tetap terbagi menjadi tiga golongan, hal ini dengan pertimbangan industrinya banyak menyerap tenaga kerja,” jelas Frans.
"Sedangkan dalam rangka pengawasan untuk merek rokok yang pernah terkena tindak pidana maka merek rokok tersebut tidak bisa digunakan selama 2 tahun. Frans mencontohkan, jika suatu merek ditemukan di peredaran ternyata telah melanggar ketentuan cukai, misalnya menggunakan pita cukai yang bukan peruntukkannya atau tidak menggunakan pita cukai, maka yang terkena sanksi hukum bukan hanya orangnya (pemiliknya) saja tetapi mereknya juga tidak boleh beredar untuk sementara waktu selama dua tahun".
"Kami tidak menutup mata, setiap kebijakan baru selalu menimbulkan protes atau komentar khususnya dari produsen hasil tembakau dan itu merupakan suatu bentuk respon. Tugas kami menyampaikan secara penuh supaya tidak terjadi salah persepsi. Diakui memang ada kenaikan tariff tetapi tidak secara drastis. Ada beberapa pabrik tertentu naik golongan, dari golongan II ke III, hal itu harus dilakukan dalam rangka roadmap industri hasil tembakau,” imbuh Frans

Tidak ada komentar:

Posting Komentar