Jumat, 06 Maret 2009


KEBIJAKAN CUKAI YANG FUNDAMENTAL
Oleh : Sunaryo
(telah di gubah dalam WBC Edisi Maret 2009;Photo : Penulis bersama Siswono Yudho Husodo)

Pemerintah yang dalam hal ini Departemen Keuangan telah mengelurakan kebijakan cukai yang baru melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 203/PMK.011/2008 tentang Penetapan Tarif Cukai Hasil Tembakau. Kebijakan tersebut adalah kebijakan yang sangat fundamental di bidang cukai dengan pertimbangan beberapa alasan yang akan diuraikan dalam paparan di bawah ini.

Spesifik Murni
Dalam sejarah percukaian, PMK 203/PMK.011/2008 adalah kebijakan yang mendobrak tradisi penggunaan sistem tarif cukai advalorum yang telah diadopsi selama ini. Sistem advalorum (penghitungan cukai adalah persentase dikalikan harga dasar) telah diberlakukan sejak ordonansi cukai tembakau zaman belanda. Memang secara fakta sistem tarif tersebut praktis berhasil menjalankan fungsi pemerintah sebagai Budgeter karena secara menyeluruh target cukai yang dibebankan senantiasa tercapai. Sistem tarif tersebut juga adaptable dengan faktor inflasi kita yang fluktuatif bertahun tahun. Namun bagi yang lebih mendekat terkait dengan penggunaan sistem tarif tersebut, terdapat celah yang kurang kondusif untuk negara kita yang masih cukup tergantung dengan kontribusi cukai. Bahasa simple-nya ketika negara ini sekali waktu ingin menutup beban APBN melalui kebijakan cukai dengan maksud menambah penerimaan, maka besaran tambahan penerimaan cukai tidak efektif dari konsumen selaku pembayar cukai ke kas negara. Komposisinya dalam studi kecil yang penulis lakukan adalah 45% ke pengusaha dan 54% ke negara. Dengan demikian dari fakta ini yang membuat pada saat awal DJBC meng-introduce sistem tarif cukai spesifik pada bulan maret 2007 disambut sikap reluctant oleh pengusaha. Secara detail prhitungan sudah penulis paparkan pada media ini di awal tahun 2007.
Selain hal tersebut kelebihan atas sistem tersebut adalah jika dikaitkan dengan fungsi regulerend. Sepakat atau tidak jika trend global anti tembakau adalah tantangan yang harus disikapi. Penulis tidak melihat hal tersebut sebagai ancaman karena mengingat filosofi dasar cukai salah satunya adalah pengendalian, karenanya gerakan anti tembakau tersebut bukan sebuah ancaman bagi pengambil kebijakan cukai hasil tembakau. Penulis memilih kata “tantangan” karena kompleksitas sektor tembakau di indonesia yang harus di manage dengan benar sehinga bisa meng-entertaint semua pihak terkait baik yang pro dan kontra dengan sektor tembakau.
Sebagaimana diketahui dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 yang diamandemen dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007, tarif tertinggi adalah 57% dari harga dasar dalam hal harga dasar adalah Harga Jual Eceran (HJE). Untuk ukurang negara-negara maju besaran tarif tertinggi tersebut masih tergolong rendah karena tarif efektif yangberlaku di negara-negara maju rata-rata lebih dari 60%. Mengingat fakta ini boleh kiranya jika Indonesia masih mengandalkan sistem advalorum murni suatu saat akan mentok di golongan pabrik tertinggi sementara di golongan dibawahnya harus dinaikkan dalam hal ada kenaikan beban APBN. Pemerintah akan melanggara Undang-Undang dalam hal memaksakan semua golongan naik beban cukainya. Karena besaran tarif cukai berlaku tidak boleh melebihi 57% dari HJE karena untuk golongan tertingi saat ini . Sebagi infomasi tarif tertinggi Memang masih ada varabel HJE sebagai satu alternatif lainnya untuk dinaikan. Namun sebagaimana sebelumnya dipaparkan penggunaan variable HJE untuk instrumen kebijakan cukai tidak efektif sepenuhnya multipliernya ke penerimaan negara. Konsumen dibebani beban cukai yang lebih tinggi dari seharusnya. Bukannya pengalaman telah menunjukan lebarnya disparitas HJE dengan harga transaksi pasar (HTP) karena excesive-nya kebijakan cukai hasil tembakau dengan instrumen? Data empirik selama dua tahun, tahun 2007-2008 dengan melihat kinerja DJBC dibidang cukai, kiranya menjadi lebih dari sekedar teori bahwa DJBC telah on track. Penulis mempersilahkan pembaca untuk menilainya, tentunya tidak dengan asumsi dan hendaknya bersifat menyeluruh tidak sektoral dan skeptis.

Penyederhanaan
Nuansa penyederhanaan sebagaimana dicanangkan dalam roadmap industri hasil tembakau sangat kentara dalam PMK tersebut yaitu penyatuan penggolongan pabrik antar pabrik golongan III (pabrik dengan jumlah produksi sampai dengan 500 juta batang pertahun) dan II (pabrik dengan jumlah diatas 500 juta batang sampai dengan 2 miliar batang pertahun).
Sebagai informsi, bahwa sebelum PMK 203/PMK.011/2008 di-release, tahapan pembuatan kebijakan telah melalui prosedur yang ditetapkan yaitu dengan terlebih dahulu sounding dengan seluruh stakeholder sektor tembakau. Sebelumnya telah dilakukan sosialisai dengan institusi terkait seperti Departemen Perindustrian, Departemen Perdagangan, Departemen Tenaga Kerja, Departemen Perdagangan. dan Departemen Pertanian. Disamping itu juga telah dilakukan sosialisasi dengan subyek yang langsung terkena dampak yaitu Pengusaha Pabrik Hasil Tembakau dan Assosiasinya. Semua kemungkinan yang akan dilakukan dalam kebijakan cukai hasil tembakau untuk tahun 2009 secara global telah disampaikan pada pihak-pihak tersebut, salah satunya adalah rencana penggabungan golongan pabrik.
Penggabungan golongan pabrik memiliki dua tujuan yaitu penyederhanaan sebagaimana ditetapkan dalam Roadmap Industri Hasil Tembakau. Hal lain yang menjadi pertimbangan, kedua jenis hasil tembakau yakni SKM dan SPM adalah jenis hasil tembakau yang kurang labour intensive dibandingkan dengan jenis lain antara yaitu SKT. Sehinga kekhawatiran akan dampak ke tenaga kerja tidak perlu dibesarkan dalam hal terdapat pabrik yang tidak mampu bersaing. Terlebih hampir semua pabrik SKM memiliki dan memproduksi jenis hasil tembakau SKT sebagai jenis penyangga tenaga kerja.
Namun demikian disamping alasan mendasar tersebut dalam paragraf sebelumnya, terdapat fakta yang kurang “ethic” jika mencermati rekap data produksi per pabrik jenis SKM selama dua tahun. Terdapat lebih dari 20 pabrik yang memiliki produksi pada kisaran 499 juta batang. Padahal batas atas penggolongan pabrik untuk golongan III adalah 500 juta batang. Memang secara legal tidak ada yang perlu dipertentangkan. Tapi dalam etika “bisnis percukaian” jika dianalogkan situasinya seperti kita melihat keculasan tapi tidak bisa menahannya. Sebagai aparat fiskal tentunya tidak suka ada upaya penghindaran cukai yang secara sengaja dilakukan walau masih dalam koridor hukum. Karena perlu dibuat kebijakan yang bisa mengatasinya, “Silahkan pabrikan memperbanyak produksi dari sebelumnya dengan catatan tarif cukai naik. En toh, pabrikan tersebut telah menahan produksi kurang lebih selama dua tahun. Paling tidak mereka telah menikmati tarif cukai yang seyogyanya telah lebih tinggi paling tidak dua tahun yang lalu.”
Ada dua impact sebagai akibat kebijakan penyederhanaan ini, pertama terdapat pabrik new comer di golongan II yaitu pabrik yang selama ini terdapat pada golongan III. Pabrik pabrik ini memang akan mendapatkan kenaikan beban cukai yang lebih signifikan dibandingkan dengan yang native di golongan tersebut. Namun demikian ini adalah bagian dari resiko kebijakan yang tidak bisa dihindari. Jangankan karena ada perubahan sistem tarif yang mengharuskan menghitung besaran tarif cukai rata perbatang yang mewakili layer tersebut. Karena dengan menggabungkan saja walaupun dengan sistem advalorum murni akan berdampak kenaikan secara otomatis. Dan ini telah terjadi pada Tahu 2001 melalui PMK 597/PMK.04/2001.

SKTF dan SPTF
Bahwa pada faktanya Bangsa Indonesia adalah bangsa yang kreatif sangat terlihat dengan inovasi dalam bidang hasil tembakau. Dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 tahun 2007, Hasil tembakau dibesakan menjadi Sigaret, Tembakau Iris, Cerutu, Klembak, Klobot, dan Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya.
Untuk Sigaret dibedakan menjadi kretek yang bahan bakunya menggunakan cengkeh dan sigaret putih yang tidan menggunakan cengkeh. Kemudian jenis sigaret ini dibedakan antara yang menggunakan mesin dan yang lain dengan mesin atau biasa dibuat dengan tangan . Dari sinilah lebih di eksplisitkan dalam PMK yang berkaitan dengan tarif dan harga dasar hasil tembakau dimunculkan terminologi SKM, SKT, SPM, TIS, dan seterusnya. Namun demikian pada tahun 2005 munculah inovasi jenis hasil tembakau yang dienal Sigaret Kretek Tangan Filter (SKTF). Secara fisik bentuknya sangat mirip dengan SKM. Namun demikian secara teknik per-sigaretan dengan mengutip para pakar yang berkecimpung dunia sigaret, jenis SKTF taste sebenarnya tidak mungkin enak karena terdapat rongga udara antara filter dan tembakaunya karena pembuatannya tidak menggunakan mesin. Hal itu memang masih dapat diperdebatkan. Namun kehadiranya dalam blantika per-sigaretan sungguh mengcengangkan: tarifnya rendah karena masuk kategori SKT namun dapat menjadi substitution product dari jenis SKM yang bertarif cukai tinggi. Terlebih dengan disparitas tarif cukai ini banyak pihak mengambil celah memanfaatkannya dengan mengisinya dengan jenis SKM. Dampaknya jenis SKM yang merupakan kontributor utama penerimaan cukai tersaingi, bukan leh SKTF legal melainkan SKTF ilegal yaitu izin mereknya SKTF tapi diisi SKM.
Memang masalah awal adalah pengawasan namun mengutip Ibu Menteri Keuangan ketika mendengar informasi ini kurang lebihnya ,”Kita tidak boleh menyerah atas suatu persoalan yang tidak benar hanya karena cara utama belum bisa. Harus dicari alternatif solusi!” Kemudian ditindaklanjuti dengan PMK 134/PMK.04/2007 yang menyamakan kebijakan tarif cukai dan harga dasar SKTF menjadi sama dengan SKM. Beban pengawasan sangat terbantu dengan kebijakan ini.
Setelah selesai dengan persoalan SKTF muncul trend baru di dunia per-sigaretan. Sebuah varian baru muncul di pasaran namanya Sigaret Putih Tangan Filter (SPTF). Secara fisik sangat menyerupai SKM, SKTF, dan SPM. Sigaret ini muncul pertama kali di Manado tahun 2001 yang hanya diproduksi satu pabrik namun demikian belum menggunakan filter (SPT). Kebijakan saat itu melalui PMK 449/PMK.04/2002 dimasukan dalam satu golongan hasil tembakau jenis Klobot (KLB) dan Kelembak Menyan (KLM) dengan pertimbangan satu: mengakomodir praktek lapangan untuk memperjelas.
Berbeda situasinya dengan tujuh tahun kemudian, jenis SPTF menjadi trend dibebarapa tempat. Bahkan di Nusa Tenggara Barat yang sebenarnya bukan sentra industri rokok, varians jenis hasil tembakau ini diproduksi. Ketika bulan Juni 2008 dilakukan inspeksi di beberapa wilayah sentra industri rokok didapti banyak pabrik telah memproduksi jenis ini. Ketika di taste dari bau dan rasa didapati ada harum dan taste cengkeh walupun mereka menyampaikan bahwa yang digunakan bukanlah cengkeh yang dirajang melainkan dari saus cengkeh. Dan dalam praktinya terdapat pula pabrik yang memanfaatkan celah ini untuk menghindari beban cukai tinggi dengan mengisinya hasil tembakau jenis SKM. Sekali lagi modus lama digunakan kembali mengingat penggolongan SPT dan SPTF saat itu masuk dalam penggolongan KLB/KLM. Untuk merespon situasi tersebut agar tidak timbul upaya penghindaran pembayaran cukai, maka dalam PMK 203/PMK.011/2008 kebijakan jenis hasil tembakau SPTF disamakan dengan jenis SKM.

Dari Castro ke Sastro
Hal terakhir yang mendasar dalam PMK 203/PMK.011/2008 adalah bagaimana melindungi industri dalam negeri. Penulis meyakini di semua negara pasti membuat kebijakan yang melindungi industri Dalam Negeri. Bahkan dalam situasi krisis ekonomi sekarang ini, negar-negara pencetus teori ekonomi sepertinya melanggar konsep teori yang sebelumnya di agung-agungkannya agar pemerintah jangan terlalu campur tangan dalam perekonomin. Paling tidak dengan contoh Amerika Serikat dengan rancangan program stimulus ekonominya dapat menjadi cermin apa yang kita lakukan tidak ada apa-apanya dan pasti tidak melanggar aturan.
Singkat kata dalam PMK 203/PMK.011/2008 terdapat satu lampiran yang sangat signifikan dampaknya terhadap impor hasil tembakau. Hasil tembakau tersebut adalah Cerutu. Dengan PMK 203/PMK.011/2008 jenis cerutu akan mengalami dampak kenaikan yang signifikan dengan adanya kenaikan batasan HJE minimum. Tujuan kebijakan ini salah satunya mengakomodir tuntutan instansi terkait. Istilah mereka mengembalikan ke khitah tembakau yang itu dari Castro ke Sastro. Sebagimana diketahui cerutu yang paling terkenal adalah dari negaranya Fidel Castro padahal bahan bakunya dari Indonesia negaranya Sastro.

Penutup
PMK 203/PMK.011/2008 adalah kebijakan cukai yang mengarah simplifikasi baik dari segi tarif cukai maupun pegolongan pabrik yang searah dengan roadmap industri hasil tembakau. Kedua kebijakan tersebut adalah kebijakan yang akan menjadi landasan kebijakan cukai selanjutnya dalam rangka menjalankan regulair dan fungsi budgetair.