Jumat, 13 Februari 2009

Wacana Pengharaman Rokok:
Mendidik Perilaku Perokok, Jangan Menekan Petani
(Majalah Perkebunan edisi Pebruari 2009)


Wacana yang sedang santer soal tembakau sebaiknya lebih mengarah kepada edukasi bagi perilaku perokok daripada menggulirkan kebijakan yang dapat menekan petani dan produksi tembakau.

Demikian salah satu pokok pendapat dari Ketua Badan Pertimbangan Organisasi DPN HKTI, Siswono Yudo Husodo pada diskusi Empat Jam Bersama Pemuda Tani Indonesia dan bertajuk ”Menyikapi Kontroversi Tembakau dan Industri Ikutannya (Rokok) Secara Obyektif ”. Acara tersebut digelar di Jakarta Design Center, Tanggal 20 Januari 2009 diselenggarakan untuk mengurai benang kusut wacana pengharaman rokok oleh Majelis Ulama Indonesia belakangan ini.
Seperti halnya tembakau yang memiliki stake holder yang luas diskusi ini juga dihadiri oleh lebih dari 100 orang peserta dari berbagai kalangan, yaitu petani, pelaku usaha, pejabat pemerintah terkait, akademis, Lembaga Swadaya Masyarakat, tokoh agama, mahasiswa dan pers. Bersama Siswono Yudo Husodo, pemateri lainnya adalah Sunaryo, Seksi Cukai Tembakau 2 Direktorat Cukai, Ditjen. Bea dan Cukai, Departemen Keuangan RI, Ismanu Soemiran, Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), dan K. H. Maksum, Pengasuh Ponpes Ciwaringin, Cirebon.
Paparan tentang kontribusi dan posisi strategisnya tembakau bagi petani dan pendapatan bagi negara di jabarkan oleh Siswono Yudo Husodo yang tampil sebagai pembicara pertama. Tembakau dan industri hasil ikutannya (rokok) selama ini telah memberikan kontribusi cukup besar terhadap ekonomi nasional. ”Dari sisi hulu sampai hilirnya, industri tembakau atau rokok menyerap Tenaga Terlibat Langsung (TTL) sebesar 6,1 juta. Jika tiap TTL diasumsikan menghidupi 4 orang, berarti terdapat sekitar 24,4 juta jiwa yang dihidupi”, terang Siswono Yudo Husodo.


Kontribusi GDP
Angka Tersebut makin membengkak jika dijumlahkan dengan penyerapan Tenaga Tidak Terlibat Langsung (TTTL) terdapat sekitar 30,5 juta orang yang hidup dan bergantung pada industri tembakau. Rangkaian penghidupan yang bersumber dan bersentuhan dengan tembakau antara lain pertanaman tembakau dan pemeliharaannya, cengkeh, IHT, Industri terkait lainnya sampai distribusi dan retail. Kontribusi bagi pendapatan nasional juga menyentuh kisaran angka fantastis. Tengok saja kontribusi bagi nilai ekonomi akhir (Ultimatre Economi Value) dan Gross Domestic Product (GDP) dari Industri Hasil Tembakau (IHT) tahun 2008. GDP IHT adalah sebesar Rp 5.000 triliyun atau sekitar 2,4 % dari GDP Nasional. Sedangkan cukai dan pajak lainnya adalah sebesar Rp 57 ttiliyun dan trendnya pun bakal terus menanjak.
Selama ini industri rokok Tanah Air juga menghidupi kalangan petani pekebun tembakau dan cengkeh karena sekitar 90% industri rokok menggunakan bahan baku tembakau dan cengkeh lokal yang sebagian besar dari perkebunan rakyat. Hal ini disampaikan oleh Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Ismanu Soemiran yang juga menunjuk bahwa lapangan kerja industri ini begitu fleksibel dan luas. ”Pekerja yang terserap industri ini berlatar balakang pendidikan minim bahkan dari yang tidak punya ijazah sama sekali hingga pendididkan doktor!” tegas Ismanu. Dari sisi keyakinan agama pun, tambahnya, 95 % adalah muslim.

Tidak ditemukan dalil haram
Wacana pengharaman rokok merupakan isu sensitif karena menyentuh hukum agama dan bersinggungan langsung dengan umat Muslim di Indonesia. Menurut KH Maksum, pengasuh Ponpes Ciwaringin, Cirebon, dalam Alquran sendiri juga tidak ditemukan dalil haram untuk rokok. Ia juga memprediksi bahwa MUI tidak akan gegabah mengeluarkan fatwa haram melihat industri rokok dan tembakau khususnya, selain soal dalil agama juga karena tembakau menjadi gantungan hidup rakyat banyak.
Ia juga mengingatkan agar banyak kalangan hati-hati menggulirkan wacana ini terutama karena sudah masuk konteks agama. ”Fatwa MUI sebenarrnya bagus supaya pengusaha tidak terlelap tidur bahwa ada persoalan sosial yang penting,” ujar KH Maksum mengingatkan kalangan pebisnis agar meningkatkan kontribusinya bagi kesejahteraan petani.
Seperti Siswono, KH Maksum juga lebih sepakat jika perilaku perokok yang lebih diperhatikan. Misalnya sosialisasi mengkonsumsi rokok sebaiknya tidak di tempat umum atau dilakukan di tempat khusus. Ulama humoris ini juga yakin bahwa umat juga bisa menerima anjuran tidak merokok jika dilakukan dengan pendekatan yang halus misalnya pendekatan etika pergaulan dan sopan santun.

Adil
Diskusi yang dimulai dari pagi bergulir menghangat ketika masuk sesi tanya jawab. Petani sebagai salah satu stake holder atau pemangku kepentingan juga hadir dan meramaikan diskusi dengan memaparkan konsekuensi dan kritisi terhadap wacana rokok haram dan kebijakan industri rokok selama ini. ”Sebagai salah satu daerah utama penghasil tembakau, kami menolak pengharaman rokok. Kontribusi kami sebagai petani bagi pendapatan nasional sangat besar tapi jika diharamkan kami juga tidak bisa serta merta berganti komoditas!” tegas Wisnubrata, Kepala Desa Campur Sari, Bulu Temanggung. Pak Lurah yang juga dipercaya sebagai Asosiasi Petani Tembakau Jawa Tengah ini juga menggarisbawahi pernyataan Siswono sebelumnya bahwa tembakau merupakan tanaman lokalize dan spesifik.
Ia juga mengkritisi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau yang memberikan dana lebih besar bagi daerah yang bukan sentra tembakau dan rokok. ”Ini tidak pas dan tidak adil karena petani juga butuh pengembangan usaha dan budidaya tembakau yang berkualitas,” kata Wisnubrata yang diamini oleh para petani yang hadir dan berasal dari berbagai daerah selain Temanggung misalnya dari Jember dan Bondowoso, Jawa Timur.

Rumusan Diskusi
Diskusi siang itu melahirkan pula rumusan penting bagi wacana industri rokok dan tembakau. Antara lain tembakau merupakan tanaman industri yang dipilih oleh petani dalam berusaha tani dan berdasarkan pemikiran dan kondisi yang sangat rasional dan menguntungkan. Hak memilih komoditas pertanian tersebut mendapat perlindungan dari UU No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman. Dalam UU tersebut di pasal 6 ayat 1 yang berbunyi ” Petani memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan jenis tanaman dan pembudidayaannya.
Sifat lokalize dan spesifik yang melekat pada tembakau sangat sesuai dengan pola tanam yang telah dilaksanakan oleh para petani di masing-masing lokasi penanaman tembakau seperti Temanggung, Wonosobo, Sleman, Madura, Bojonegoro, Besuki, Deli, Lombok dan lain-lain. Maka, jika petani diminta untuk megurangi atau mengendalikan tanaman tembakau merupakn kebijakan yang naif. Perusahaan rokok juga akan mengalami kesulitan bahan baku untuk membuat rokok. Kesulitan bahan baku tersebut akan dipenuhi dengan melakukan impor daun tembakau, yang pada akhirnya dapat mengurangi devisa negara.
Melihat begitu strategisnya peran tembakau dan IHT dalam menopang perekonomian negara disampaikan pula himbauan kepada Majelis Ulama Indonesia (MUI) agar dapat mempertimbangkan secara arif dan bijaksanan untuk tidak gegabah mengeluarkan fatwa haram tentang rokok. Sebab, jika sudah difatwakan, konsekwensi hukum adalah berat yaitu berdosa jika digunakan atau bersentuhan. Padahal masalah rokok dan tembakau dari aspek agama Islam tidak ada dalil yang shorih (tegas dan jelas) baik dalam AL-Qur’an maupun dalam Hadis. Ulama berbeda pendapat, ada yang mengatakan haram (pendapat yang dloif/lemah), mubah juga dloif dan makruh (pendapat yang mu’tamadun (pendapat yang kuat).
Dana yang diperoleh pemda provinsi dan kabupaten yang mendapat Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau sebagimana tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.07/2008 juga dihimbau agar dialokasikan oleh gubernur dan bupati untuk peningkatan mutu bahan baku. Upaya lainnya yaitu melakukan pilot-pilot project yang dapat menghasilkan verietas tembakau dengan kandungan nikotin dan tar rendah dengan memanfaatkan lembaga-lembaga litbang, melakukan penanganan panen dan pasca panen bahan baku serta penguatan kelembagaan kelompok tani tembakau.
Terakhir, pemerintah terus memberikan perlindungan bagi petani tembakau dan mengedukasi atau mendidik masyarakat umum tentang bahaya rokok serta menghimbau kepada pemerintah dan/atau DPR-RI perlu mempersiapkan RUU Dampak Tembakau Terhadap Kesehatan secara komprehensip dan berimbang. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan dengan berbagai penyesuaian dapat ditingkatkan menjadi konsep RUU.

Kamis, 05 Februari 2009


Dana Cukai Tembakau tak Sampai ke Petani
Jakarta (BisnisBali)

(Salah satu hasil liputan mengikuti Workshop Pemuda Tani Indonesia di Gedung Jakarta Design Centre)



– Dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBH CHT) yang memberikan alokasi untuk pembinaan bagi petani tembakau hingga saat ini tidak sampai ke petani.Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Jawa Tengah Wisnu Broto di Jakarta, Selasa (20/1) kemarin mengungkapkan, berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 84 tahun 2008 DBH CHT dialokasikan untuk penghasil cukai sebesar 40 persen, pemerintah propinsi 30 persen dan kabupaten 30 persen yang di dalamnya termasuk untuk pembinaan petani tembakau."Namun alokasi dana bagi hasil cukai untuk petani ini tidak digunakan untuk kegiatan yang benar-benar pembinaan petani," katanya dalam diskusi menyikapi “Kontroversi Tembakau dan Industri Ikutannya secara Objektif” yang diselenggarakan DPP Pemuda Tani Indonesia.Wisnu yang juga petani tembakau dari Kabupaten Temanggung Jateng itu menyatakan, pembinaan petani sebenarnya ditujukan untuk meningkatkan mutu bahan baku yang dihasilkan petani serta menghasilkan varietas tembakau dengan kadar nikotin rendah.Kegiatan pembinaan petani tembakau selama ini, tambahnya, hanya berupa pemasangan spanduk-spanduk yang dinilai tidak memberikan manfaat langsung dalam peningkatan mutu produk yang dihasilkan petani.Menanggapi hal itu Kepala Seksi Cukai II Ditjen Bea dan Cukai, Sunaryo mengatakan, dana bagi hasil cukai hasil tembakau tersebut memang tidak dialokasikan untuk wilayah penghasil bahan baku namun bagi daerah penghasil cukai."Jadi DBH CHT ini untuk wilayah yang ada industrinya bukan penghasil bahan baku tembakau," katanya.Menurut Pasal 66 A, Undang-undang No.39 tahun 2007 tambahnya, penerimaan negara dari CHTI dibuat di Indonesia dibagikan kepada propinsi penghasil cukai hasil tembakau sebanyak 2 persen."Gubernur mengelola dan menggunakan DBH-CHT dan mengatur pembagiannya di daerahnya masing-masing," katanya. Pengunaan DBH CHT sebagaimana tertuang dalam Permenkeu No. 84 tahun 2008, menurut dia, yakni untuk peningkatan kualitas bahan baku, pembinaan industri, pembinaan lingkungan sosial, sosialisasi ketentuan di bidang cukai dan atau pemberantasan barang kena cukai ilegal.Sementara itu Ketua Badan Pertimbangan Organisasi Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Siswono Yudhohusodo meminta gubernur dan bupati/wali kota yang wilayahnya memperoleh DBH CHT agar benar-benar diarahkan bagi peningkatan mutu bahan baku.Menurut dia, pada 2008 negara memperoleh pemasukan lebih dari Rp 57 trilyun dari cukai rokok serta pajak lainnya yang diperkirakan akan terus meningkat setiap tahunnya. Oleh karena itu, tambahnya, selain untuk peningkatan mutu bahan baku DBH CHT juga harus dimanfaatkan untuk melakukan proyek percontohan yang dapat menghasilkan varietas tembakau yang memiliki kandungan nikotin rendah dengan memanfaatkan lembaga-lembaga Litbang serta mengefisienkan penanganan panen dan pasca panen bahan baku maupun penguatan kelembagaan kelompok tani tembakau. *ant

Dana Cukai Tembakau tak Sampai ke Petani
Jakarta (BisnisBali)


(Salah satu hasil liputan mengikuti Workshop Pemuda Tani Indonesia di Gedung Jakarta Design Centre)






– Dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBH CHT) yang memberikan alokasi untuk pembinaan bagi petani tembakau hingga saat ini tidak sampai ke petani.Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Jawa Tengah Wisnu Broto di Jakarta, Selasa (20/1) kemarin mengungkapkan, berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 84 tahun 2008 DBH CHT dialokasikan untuk penghasil cukai sebesar 40 persen, pemerintah propinsi 30 persen dan kabupaten 30 persen yang di dalamnya termasuk untuk pembinaan petani tembakau."Namun alokasi dana bagi hasil cukai untuk petani ini tidak digunakan untuk kegiatan yang benar-benar pembinaan petani," katanya dalam diskusi menyikapi “Kontroversi Tembakau dan Industri Ikutannya secara Objektif” yang diselenggarakan DPP Pemuda Tani Indonesia.Wisnu yang juga petani tembakau dari Kabupaten Temanggung Jateng itu menyatakan, pembinaan petani sebenarnya ditujukan untuk meningkatkan mutu bahan baku yang dihasilkan petani serta menghasilkan varietas tembakau dengan kadar nikotin rendah.Kegiatan pembinaan petani tembakau selama ini, tambahnya, hanya berupa pemasangan spanduk-spanduk yang dinilai tidak memberikan manfaat langsung dalam peningkatan mutu produk yang dihasilkan petani.Menanggapi hal itu Kepala Seksi Cukai II Ditjen Bea dan Cukai, Sunaryo mengatakan, dana bagi hasil cukai hasil tembakau tersebut memang tidak dialokasikan untuk wilayah penghasil bahan baku namun bagi daerah penghasil cukai."Jadi DBH CHT ini untuk wilayah yang ada industrinya bukan penghasil bahan baku tembakau," katanya.Menurut Pasal 66 A, Undang-undang No.39 tahun 2007 tambahnya, penerimaan negara dari CHTI dibuat di Indonesia dibagikan kepada propinsi penghasil cukai hasil tembakau sebanyak 2 persen."Gubernur mengelola dan menggunakan DBH-CHT dan mengatur pembagiannya di daerahnya masing-masing," katanya. Pengunaan DBH CHT sebagaimana tertuang dalam Permenkeu No. 84 tahun 2008, menurut dia, yakni untuk peningkatan kualitas bahan baku, pembinaan industri, pembinaan lingkungan sosial, sosialisasi ketentuan di bidang cukai dan atau pemberantasan barang kena cukai ilegal.Sementara itu Ketua Badan Pertimbangan Organisasi Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Siswono Yudhohusodo meminta gubernur dan bupati/wali kota yang wilayahnya memperoleh DBH CHT agar benar-benar diarahkan bagi peningkatan mutu bahan baku.Menurut dia, pada 2008 negara memperoleh pemasukan lebih dari Rp 57 trilyun dari cukai rokok serta pajak lainnya yang diperkirakan akan terus meningkat setiap tahunnya. Oleh karena itu, tambahnya, selain untuk peningkatan mutu bahan baku DBH CHT juga harus dimanfaatkan untuk melakukan proyek percontohan yang dapat menghasilkan varietas tembakau yang memiliki kandungan nikotin rendah dengan memanfaatkan lembaga-lembaga Litbang serta mengefisienkan penanganan panen dan pasca panen bahan baku maupun penguatan kelembagaan kelompok tani tembakau. *ant

“HOT- HOT CHIKEN’S FECES”
Oleh : Sunaryo
(tulisan ini telah di publikasi Majalah Warta Bea dan Cukai)

Penulis mempersilahkan pembaca untuk menertawai judul tersebut. Tertawa mengejek lantaran dalam perespektif grammar amburadul, atau tertawa lucu lantaran ungkapan itu tak lazim dalam Bahasa Inggris sebagaimana halal bil halal di Arab Saudi. Yang jelas lantaran banyak fenomena di Nusantara ini yang klop dengan ungkapan-”Hangat-hangat tahi ayam”, penulis terpaksa memakai judul tersebut. Toh dalam bahasa tak ada kebenaran mutlaq. Yang ada hanya lazim dan tak lazim dengan kaidah bahasa yang disepakati. Jadi sah-sah saja kalau penulis memakainya kan? Apalagi jaman demokrasi. Yang “ngomong ngawur” saja diblow up media dan diberitakan, apalagi yang ada dasarnya! Dan penulis mempersilahkan pembaca untuk tidak setuju-apalagi setuju dengan ke-shahihan judul itu, termasuk apa yang akan penulis ungkap di Media ini. Karena-sekali lagi, “Ini Demokrasi bung!”. Toh, maksud tulisan ini bukan argumentatif semata, walaupun ada bumbu Statistika. Penulis hanya sekedar gendu-gendu rasa dengan sesama Bea Cukai di “gardu” Warta Bea Cukai ini.
Setelah terjadi ledakan bom di Hotel Marriot -sering diplesetkan “Bom Ma’ Erot”, gedung-gedung perkantoran seantero Indonesia membuat kebijakan super ketat dengan memeriksa setiap mobil yang keluar masuk karena khawatir tragedi Bom Marrriot terulang. Setelah lewat tragedi itu kurang lebih sebulan atau dua bulan, pengamanan pun kembali seperti sedia kala:”landai-landai saja!”
Ketika heboh pe-“ndangdut” asal Pasuruan, Inul Daratista, ruang angkasa Indonesia dipenuhi berita sang “Ratu Ngebor”. Pakar hukum menyoroti persoalan legalnya dan muncul pro dan kontra persoalan pornografi, hak asasi, dan berekspresi yang dibatasi. Bagi seorang marketing, fenomena Inul ditelaah di forum, seminar, talk show, dan dengan media tersebut “berterbanganlah” ditelinga kita istilah differensiasi, segmentasi, spesialisasi, dan “sasi-sasi” yang lain. Sekali lagi, “Itu bertahan paling lama dua bulan”. Setelah itu?, “landai-landai saja!”
Harus diakui bahwa kebiasaan “hangat-hangat tahi ayam” adalah satu dari sekian ciri bangsa ini. Monggo pembaca untuk me-review kasus-kasus politik, ekonomi, budaya dan sosial yang telah lewat. Ramai diawal muncul, selesainya tidak ketahuan, atau bahkan hilang ditelan ramainya kasus lain. Dan sebagai bagian dari elemen bangsa ini, institusi-institusi pemerintahan (termasuk DJBC), dalam setiap kebijakannya sering mengalami hal serupa: “hanya menggebu-gebu di awal kebijakan.”
Penulis ingat betul ketika Undang-undang Nomor 10 dan 11 Tahun 1995 (sekaligus kembalinya wewenang DJBC untuk memeriksa fisik barang diatas USD $ 5.000) akan diberlakukan. Semua aparat DJBC sibuk bersiap diri untuk show up bahwa DJBC mampu mengemban amanat masyarakat. Begitu antusiasnya sampai-sampai diberlakukanlah Apel Pagi Sore setiap hari (militer saja tidak demikian). Jika sebelumnya di kantor pusat mengenal dua macam apel: Apel Pusat dan Apel Direktorat, yang pelaksanaanya paling banyak sebulan empat kali, dengan kebijakan baru apel dilaksanakan saban hari. Tidak cukup dengan itu, diwajibkan juga bagi tiap direktorat untuk latihan baris berbaris seminggu sekali dihalaman kantor pusat. Seminggu berturut-turut dihalaman kantor pusat, dari pukul 08.00 sampai 10.00 senantiasa nampak pasukan baris berbaris. Jika saja saat itu reformasi telah bergulir, pasti ada pihak yang berkomentar,”Bea Cukai kurang kerjaan! Dua puluh lima pesen dari jam kerja habis untuk baris ngalor ngidul di lapangan!”
Lewat sebulan kebijakan apel diberlakukan, situasi kembali ke “jaman lama”: landai landai saja. Jika sebelumnya penulis hendak keluar ruangan harus mengantongi secarik kertas izin dari atasan, maka sesudahnya penulis bebas keluar masuk tanpa alasan. Apel pagi yang awalnya penuh sesak, sesudahnya sangat longgar bahkan tak jarang satu Direktorat tak satupun yang hadir. Dan situasinya : Aman-aman saja! Sama-sama maklum, sama-sama mengerti, dan sama-sama tahu diri, yang rajin monggo yang malas ya ora opo-opo. Toh tidak ada “sejarah” yang mencatat pegawai tidak naik pangkat lantaran tak pernah apel.
Begitu kebijakan apel dirubah dari setiap hari menjadi seminggu sekali, fenomenanya juga semacam, dan semakin menguatkan bahwa hot-hot chiken’s feces adalah karakter kita. Sadar bahwa beban apel ringan, bulan pertama kebijakan diberlakukan, halaman kantor pusat senantiasa penuh. Lewat dari itu, situasinya kembali : aman-aman saja!
Sekedar ingin tahu fenomena, tanggal 17 Desember 2002 penulis “iseng” untuk sekedar membandingkan laporan apel di Sekretariat dengan kehadiran peserta apel real dilapangan. Penulis mencoba menelaah dari aspek statistik. Dan semoga out put-nya dapat digunakan sebagai refleksi atas salah satu karakter kita yang sering “Hot-Hot Chiken’s Feces”.
Dalam survei tersebut kami membandingkan kehadiran apel pagi-sore antara realita sesungguhnya di lapangan dengan rekap absen apel yang diserahkan ke Sekretariat (administrasi). Penulis menelaah berdasarkan variabel: Sembilan Unit Eselon II di Kantor Pusat , Kehadiran dan Ketidakhadiran, dan Pagi-Sore sebagai variabel pelaksanaan apel.

Disiplin Pegawai Kantor Pusat “Fantastis!”
Jika pembaca menilai kedisiplinan dari hasil rekapitulasi apel pagi-sore pada Sekretariat, maka timbul perasaan kagum,”Fantastis sekali tingkat kehadiran apel pagi-sore di Kantor Pusat!”. Rata rata tingkat kehadirannya mencapai 99,68% untuk apel pagi dan 97%. Penulis haqul yaqin itu rating tertinggi jika dibandingkan dengan kedisiplinan di seluruh instansi negeri ini.
Akan tetapi sangat kontradiksi jika dibandingkan dengan realisasi sesunguhnya di lapangan. Tingkat kehadiran apel pagi-sore rata-rata hanya 19,94% untuk pelaksana, 19,45% Eselon IV, dan 12,5% Eselon III. Jika dirata-rata tingkat kehadiran hanya 17,7% : “Fantanstis” juga kan?
Jika tingkat kedisiplinan di ranking berdasarkan Sembilan Unit Eselon II di Kantor Pusat, Direktorat Kepabeanan Internasional menempati ranking tertinggi dengan point 33,3% disusul Direktorat PPKC sebesar 31,6%. Posisi terbawah ditempati Direktorat P2 dan Sekretariat dan dengan point 13,16% dan 8,20%.
Antara Pegawai Pelaksana, Eselon IV, dan Eselon III, peringkat tertinggi tingkat kehadiran apel pagi ditempati Eselon IV dengan point 19,27% disusul Pelaksana 17,68%, dan Terakhir Eselon III dengan ponit 12,50%.

Out put Inferens Statistik
Disamping mendiskripsikan data, penulis lebih jauh menguji dengan inferens statistik. Penulis menguji apakan ada perbedaan persepsi kehadiran dan ketidakhadiran antara Eselon III, Eselon IV, dan Pelaksana. Metodenya Crostab dengan Distribusi Khai Square sebagai instrumen uji. Hasilnya menunjukan bahwa antara Eselon III, Eselon IV, dan Pelaksana tidak ada perbedaan persepsi terhadap kehadiran dan ketidakhadiran apel. Dengan kata lain,”Eselon III, Eselon IV, dan Pelaksana memiliki pesepsi yang sama terhadap kehadiran dan ketidakhadiran!” Jika dikejar lebih jauh,”Kehadiran dan ketidakhadiran sama-sama penting atau sama-sama tidak penting?” Jika persepsinya sama-sama penting, kok kontradiksi dengan kenyataan di lapangan. Akan tetapi jika penulis menyimpulkan antara pejabat dan pelaksanan berpersepsi-”Sama-sama tak penting!”, takut pamali. Kalau faktanya dan datanya mendukung kesimpulan terakhir? Kembali, penulis mempersilahkan untuk menyimpulkan sendiri termasuk untuk tidak setuju-apalagi setuju dengan survei ini. Karena demokrasi berlaku juga buat siapa saja, termasuk pegawai negeri!.
Pengujian kedua menguji,”Apakah ada perbedaan jumlah significant antara apel pagi dan sore?” Instrumennya Distribusi Normal metodenya Uji Dua Rataan. Hasilnya menunjukan bahwa antara pagi dan sore tidak ada perbedaan jumlah yang significant. Kesimpulannya, jumlah peserta apel pagi dan sore cenderung sama. Jika ditarik lebih jauh,”Peserta apel pagi dan sore orangnya itu-itu juga (orang yang sama)” Dan tingkat kedisiplinan terhadap jam kerja pegawai kantor pusat juga tercermin dari jumlah peserta apel tersebut.

Saran- Saran
Dengan paparan diskriptif dan inferens di atas, sepertinya ada kesepakatan bahwa perilaku”Hot-Hot Chicken’s Feces” perlu diatasi (wabil khusus untuk penulis). Jika apel dijalankan dengan perilaku seperti itu, mungkin tidak berekses yang siginificant. Paling hanya potong TKPN, itupun yang mau jujur tidak mau absen karena memang tidak hadir. Akan tetapi jika perilaku “menggebu di awal seterusnya biasa” dijalankan pada kebijakan lain yang melibatkan isntitusi lain dan pihak terkait, penulis yakin visi-misi DJBC tak akan tercapai.
Seorang bijak mengatakan,”Allah lebih menyukai kegiatan yang sedikit tapi terus menerus (dawam), bukan menggebu-gebu di awal waktu (walaupun out put-nya banyak).” Atau jika penulis boleh ber-analog, ejakulasi dini itu kan satu kelainan (penyakit yang di-eufimistis adat ketimuran). Jangankan pihak wanita, pihak pria yang mengalami nya (walaupun sama-sama ejakulasi hanya ada persoalan “dini” dan “tidak dini”) pun merasa tertekan, minder, dan malu. Padahal contoh tersebut sekedar kasus yang hanya melibatkan dua pihak: pria dan wanita. Apa jadinya jika DJBC bersifat “ejakulasi dini” terhadap kebijakan yang melibatkan puluhan bahkan ratusan pihak yang berkepentingan?
Yang terakhir, sekarang telah ditabuh genderang era reformasi kepabeanan dan cukai? Agar berhasil, penulis memiliki saran, “Ingatlah bahaya ejakulasi dini!” Dan penulis yakin untuk terakhir ini pasti ingat.

****
Penulis Adalah Staff Direktorat Cukai

Rabu, 04 Februari 2009

Tahun 2009 Tarif Cukai Rokok Naik 7 Persen

Rabu, 07/01/2009 - 22:56



Mulai 1 Februari pemerintah memberlakukan tarif cukai baru yang rata-rata naik sebesar 7 persen.
Kebijakan pemerintah dengan menaikkan tarif cukai hasil tembakau sebesar 7 persen ini bertujuan untuk mengendalikan konsumsi rokok dan mencapai target penerimaan cukai 2009 sebesar Rp. 48,2 triliun. Otomatis, dengan adanya kenaikan ini, maka dipastikan akan ada kenaikan Harga Jual Eceran (HJE) yang besarnya tergantung dari kebijakan masing-masing produsen rokok dengan mempertimbangkan daya beli konsumen.
Kebijakan ini efektif diberlakukan pada 1 Februari 2009 seperti diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 203/PMK.001/2008 tanggal 9 Desember 2008. Dalam peraturan ini, perusahaan rokok bisa menetapkan harga transaksi pasar sebesar 5 persen di atas HJE dengan skema pengaturan yang terdapat pada pasal 9 PMK No.203.
Untuk mengantisipasi pemberlakukan tarif cukai baru pada Februari 2009, pada 15 Desember 2008 lalu, bertempat di auditorium gedung B, Kantor Pusat Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) melaksanakan sosialisasi PMK Nomor 203/PMK.011/2008 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau.
Sosialisasi dihadiri oleh para pegawai khususnya perwakilan dari bidang cukai Kantor Bea dan Cukai di seluruh Indonesia dan dibuka secara simbolis oleh Direktur Cukai, Frans Rupang. Sebagai nara sumber dalam sosialisasi tersebut, Kasubdit Cukai Hasil Tembakau, Pattarai Pabottinggi yang menjelaskan pasal demi pasal dalam PMK Nomor 203, Kasi Perijinan dan Fasilitas Hasil Tembakau, Nur Rusdi yang menjelaskan secara teknis pelaksanaan ketentuan PMK 203,dan Sunaryo analis tarif cukai yang saat ini bertugas sebagai PFPD di KPU Tanjung Priok, menerangkan tentang Peraturan Direktur Jenderal Nomor 35 tentang Tata Cara Penetapan Tarif Cukai Hasil Tembakau .
Kepada WBC Frans Rupang mengemukakan, alasan dilakukannya sosialisasi sesuai dengan kebijakan baru dibidang cukai untuk tahun 2009 yang baru saja ditandatangani Menteri Keuangan, sedangkan dalam rangka kelancaran pelaksanaannya pada 1 Februari 2009 harus segera dilakukan sosialisasi ke kantor-kantor bea cukai khususnya yang terkait dengan masalah pemungutan cukai.
Namun dikarenakan waktu yang mendesak dan untuk mempercepat pelaksanaan sosialisasi maka Kantor Pusat mengundang semua kantor yang terkait dengan cukai untuk mengikuti sosialisasi. Diharapkan selanjutnya perwakilan yang telah mengikuti sosialisasi dapat memberikan ilmunya kepada pegawai-pegawai di daerah, untuk memberitahukan apa saja yang harus pegawai lakukan dalam rangka memperlancar peraturan menteri tersebut.
Karena itu, lanjut Frans, pegawai harus memahami isi dari PMK 203. Disamping itu juga, dalam rangka pelaksanaan PMK tadi terdapat Peraturan Dirjen No. 35 dan peraturan yang mengikutinya yaitu surat edaran dirjen. Peraturan-peraturan inilah yang akan disosialisasikan, agar aparat di lapangan memahami permasalahannya. “Bagaimana mengenai pita cukainya, apa yang harus dilakukan kepala kantor untuk mengantisisipasinya, baik dari sisi pelayanan pita cukai maupun melayani pertanyaan-pertanyaan dari pabrik rokok yang nantinya akan datang ke kantor-kantor pelayanan.”
Kalau pada tahun 2008, lanjut Frans, masih diberlakukan dua jenis tarif, yaitu advalorum dan spesifik, maka untuk tahun 2009 tidak ada lagi tarif advolurum melainkan hanya diberlakukan tarif spesifik untuk semua jenis tembakau. “Ini merupakan salah satu kebijakan yang sangat mendasar untuk tahun 2009,” ujar Frans.
Disamping itu ada beberapa kebijakan dan perubahan yang terjadi di bidang cukai antara lain, jika pada tahun sebelumnya masih ada insentif untuk ekspor hasil tembakau,tahun 2009 insentif itu hilang. Kemudian terjadi penyederhanaan golongan. Untuk Sigaret Kretek Mesin (SKM) yang sebelumnya terbagi menjadi golongan I, II dan III kini tinggal dua golongan yaitu golongan I dan II saja.Begitu juga untuk Sigaret Putih Mesin (SPM)tinggal 2 golongan, yaitu I dan II.
“Namun penyederhanaan golongan tidak berlaku bagi sigaret kretek tangan (SKT) yang tetap terbagi menjadi tiga golongan, hal ini dengan pertimbangan industrinya banyak menyerap tenaga kerja,” jelas Frans.
"Sedangkan dalam rangka pengawasan untuk merek rokok yang pernah terkena tindak pidana maka merek rokok tersebut tidak bisa digunakan selama 2 tahun. Frans mencontohkan, jika suatu merek ditemukan di peredaran ternyata telah melanggar ketentuan cukai, misalnya menggunakan pita cukai yang bukan peruntukkannya atau tidak menggunakan pita cukai, maka yang terkena sanksi hukum bukan hanya orangnya (pemiliknya) saja tetapi mereknya juga tidak boleh beredar untuk sementara waktu selama dua tahun".
"Kami tidak menutup mata, setiap kebijakan baru selalu menimbulkan protes atau komentar khususnya dari produsen hasil tembakau dan itu merupakan suatu bentuk respon. Tugas kami menyampaikan secara penuh supaya tidak terjadi salah persepsi. Diakui memang ada kenaikan tariff tetapi tidak secara drastis. Ada beberapa pabrik tertentu naik golongan, dari golongan II ke III, hal itu harus dilakukan dalam rangka roadmap industri hasil tembakau,” imbuh Frans

Sosialisasi Tarif Cukai Spesifik



Sosialisasi Kenaikan HJE Dan Tarif Spesifik Cukai Hasil Tembakau

18-12-2006admin (Sumber: wbc)



DJBC, Di Indonesia saat ini, konsumsi rokok oleh masyarakatnya cukup tinggi, bahkan menurut WHO, Indonesia dengan jumlah jiwa sebanyak 200 juta lebih, diperkirakan sekitar 141 jiwanya adalah pengkonsumsi rokok aktif yang menghabiskan sekitar 215 milyar batang per tahunnya (Media Indonesia 11 Desember 2006).
Industri rokok memang menjadi salah satu tulang punggung baik penerimaan negara maupun penyerapan tenaga kerja. Dapat dibayangkan dengan jumlah pabrik rokok yang saat ini telah mencapai 4416 pabrik ( golongan I: 6 pabrik, golongan II: 27 pabrik, golongan III: 106 pabrik, golongan IIIA: 282 pabrik, dan sisanya adalah pabrik golongan IIIB) tentunya jumlah tenaga kerja yang diserap pun juga telah mencapai jutaan orang.
Itu dari sisi penyerapan tenaga kerja, dari sisi penerimaan negara atau yang dikenal dengan cukai hasil tembakau, rokok boleh dikatakan menjadi andalan bagi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) yang tiap tahunnya selalu mengalami kenaikan bahkan melampaui dari target yang ditentukan. Untuk tahun 2006 target yang ditetapkan APBN-P sebesar Rp 38,5 triliun dan ditahun 2007 ini target cukai juga telah ditentukan dan dinaikan menjadi Rp 42,03 triliun.

Jenis Rokok Dan Golongan Pabrik
Dengan jumlah 4416 pabrik rokok memang bukan suatu hal yang mudah untuk melakukan pengawasan dan pembinaannya. Dari jumlah tersebut, produksi rokok pun dibagi menjadi beberapa jenis seperti sigaret kretek mesin (SKM), sigaret putih mesin (SPM), sigaret kretek tangan (SKT), sigaret putih tangan (SPT) sigaret kelembak tangan (KLM), cerutu (CRT), rokok daun atau klobot (KLB), tembakau iris (TIS), dan hasil pengolahan tembakau lainnya (HPTL) (pasal 4 Undang-Undang Nomor 11 tahun 1995 tentang Cukai dan pasal 1 PMK no.43/PMK.04/2005)
Dari pembagian jenis rokok tersebut, maka pabrik rokok pun juga dibagi menjadi beberapa golongan, yaitu golongan I, II, III, dan IIIA,B. Untuk masing-masing golongan ini, penetapannya telah ditentukan oleh Menteri Keuangan sebagaimana yang dituangkan dalam PMK No.43/PMK.04/2005 pasal 2, yaitu pengusaha pabrik hasil tembakau dikelompokan ke dalam golongan pengusaha berdasarkan jenis hasil tembakau yang diproduksinya, sesuai dengan batasan produksi pabrik.
Untuk SKM golongan I batasan produksi lebih dari 2 milyar batang, golongan II lebih dari 500 juta batang tetapi tidak lebih dari 2 milyar batang, dan golongan III tidak lebih dari 500 juta batang. Untuk SPM, golongan I lebih dari 2 milyar batang, golongan II lebih dari 500 juta batang tetapi tidak lebih dari 2 milyar batang, dan golongan III tidak lebih dari 500 juta batang. Untuk SKT, golongan I lebih dari 2 milyar batang, golongan II lebih dari 500 juta batang tetapi tidak lebih 2 milyar batang, golongan IIIA lebih dari 6 juta batang tetapi tidak lebih dari 500 juta batang, dan golongan IIIB tidak lebih dari 6 juta batang.
Untuk KLM, KLM atau SPT, golongan I lebih dari 6 juta batang, dan golongan II tidak lebih dari 6 juta batang. Untuk TIS, golongan I lebih dari 2 milyar gram, golongan II lebih dari 500 gram tetapi tidak lebih dari 2 milyar gram, golongan IIIA lebih dari 50 juta gram tetapi tidak lebih dari 500 juta gram, dan golongan IIIB tidak lebih dari 50 juta gram. Untuk CRT, tanpa golongan tanpa batas produksi. Sedangkan untuk HPTL tanpa golongan tanpa batasan produksi.

Sosialisasi Kebijakan Cukai
Pada Desember 2006 lalu, pemerintah melalui Menteri Keuangan telah menetapkan kebijakan baru di bidang cukai hasil tembakau terkait dengan HJE. Kebijakan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.04/2006 tentang perubahan kedua atas peraturan Menteri Keuangan Nomor 43/PMK.04/2005 tentang penetapan harga dasar dan tarif cukai hasil tembakau.
Dalam kebijakan baru tersebut juga dijelaskan, bahwa untuk tahun 2007 khususnya pada bulan Maret seluruh hasil tembakau yang penetapan HJE-nya masih berlaku dinaikan HJE-nya 7 persen, dan pada bulan Juli 2007 untuk jenis SKM, SKT, dan SPM dinaikan beban cukai perbatang (cukai spesifik), golongan I Rp 7, golongan II Rp 5, dan golongan III Rp 3. Sedangkan jenis hasil tembakau lainnya seperti TIS, KLB, KLM, CRT, dan HPTL tidak dikenakan.
Kenaikan HJE dan penerapan cukai spesifik ini tentunya tidak terlepas dari target penerimaan cukai yang tahun 2007 ini dinaikan. Jika pada tahun-tahun sebelumnya beban penerimaan cukai selalu terlampaui, untuk tahun 2006 target penerimaan cukai tidak dapat tercapai karena besaran asumsi produksi rokok dan APBN-P 2006 tidak tercapai.
Terkait dengan kebijakan tersebut, maka pada 4 Desember 2006 lalu, Direktorat Cukai menyelenggarakan sosialisasi tentang kebijakan cukai tahun 2007 khususnya kenaikan HJE dan cukai spesifik di tahun 2007. Acara dibuka oleh Direktur Penerimaan dan Peraturan Kepabeanan dan Cukai (PPKC), Drs. Wahyu Purnomo, yang dalam kata sambutannya menjelaskan bahwa penetapan beban cukai yang saat ini telah ditentukan, pada awalnya DJBC merasa keberatan karena untuk mencapai angka tersebut sangatlah sulit mengingat pada tahun 2006 saja dari angka yang telah ditetapkan tidak dapat terpenuhi.
Sementara itu, penjelasan terkait alasan pemerintah menetapkan kenaikan HJE dan cukai spesifik, disampaikan oleh Direktur Cukai, Frans Rupang, dalam acara sosialisasi yang juga di hadiri oleh seluruh kepala KPBC yang melayani kegiatan cukai, Kepala Bidang Kepabeanan dan Cukai, dan Seksi Cukai.
Dalam kata sambutannya Frans Rupang menjelaskan, target penerimaan cukai dalam RAPBN tahun 2007 ditetapkan sebesar Rp 42,03 triliun dengan estimasi penerimaan cukai tahun 2006 diperkirakan Rp 37,4 triliun dari 38,6 triliun dalam APBN-P. Dengan hanya mengandalkan pertumbuhan produksi hasil tembakau 218 milyar menjadi 232 milyar batang, penerimaan cukai 2007 diperkirakan hanya akan mencapai Rp 40,8 triliun (97 persen dari target). Sehingga untuk mencapai target tahun 2007 diperlukan ekstra effort dan kebijakan khusus.
“Saat ini penetapan HJE hasil tembakau menggunakan metode advalorum yang sebenarnya juga memiliki kelebihan dan kekurangannya. Untuk kelebihannya, metode ini sesuai untuk sektor tembakau Indonesia yang heterogen, adil pembebanannya karena pabrik besar dikenakan tarif tinggi sedangkan pabrik kecil dikenakan tarif rendah, memberi kesempatan berusaha bagi industri kecil, dan dapat menghindari monopoli di sektor industri hasil tembakau,” jelas Frans Rupang.
Lebih lanjut Frans Rupang menjelaskan, untuk kelemahan pada sistem advalorum adalah pemerintah mendistorsi pasar dengan menetapkan HJE, pemungutan dan pengawasannya kompleks meliputi, pengawasan tarif, HJE, golongan, jenis hasil tembakau, kemasan, dan alat kontrol pita cukai. Kelemahan lainnya, penggunaan variabel HJE sebagai instrumen utama membuat gap harga transaksi pasar (HTP) dengan HJE semakin jauh, kesenjangan beban cukai antar golongan semakin jauh, dan dalam hal kenaikan HJE berbentuk prosentase akan membuat gap HJE antar jenis hasil tembakau semakin jauh.

Tarif Spesifik
Sementara itu untuk tarif spesifik yang juga memiliki kelebihan dan kelemahan, Frans Rupang menjelaskan, untuk kelebihannya dengan tarif spesifik ini pemerintah tidak perlu menetapkan harga dasar (cukup mengatur besaran cukai dan satuan BKC yang digunakan per batang, per gram, per kadar, atau per kemasan). Lebih mudah dalam pemungutan (administrasi) dan pengawasan, pemerintah tidak mendistorsi pasar, mendorong industri kecil untuk meningkatkan daya saing, dan sangat tepat untuk menjalankan fungsi pengaturan (pembatasan konsumsi) karena beban cukainya sama.
Sedangkan kekurangan dengan pengenaan tarif spesifik ini, tidak adil pabrik besar dan kecil beban cukainya sama, jika besaran tarif sama untuk semua golongan akan mendorong oligopoli, dan belum sesuai untuk industri tembakau di Indonesia yang heterogen dan banyak jumlahnya.
Menurut Kepala Seksi Analisis Tarif Harga dan Produksi Cukai Hasil Tembakau, Sunaryo, latar belakang timbulnya cukai spesifik ini lebih dikarenakan adanya gap antara HTP dengan HJE, adanya gap nominal HJE antar golongan dan jenis yang sangat tinggi. Dan sebagai entry point untuk kebijakan cukai jangka panjang, serta untuk kepentingan penerimaan negara, dan meringankan beban PPN pengusaha akibat kebijakan cukai. Untuk itu maka dibuatlah alternatif kebijakan dengan mempertimbangkan aspek legal, fakta real, dan aspek penerimaan cukai tahun 2007, yang pada akhirnya menetapkan penggunaan sistem tarif cukai yang mengkombinasikan sistem advalorum dan spesifik (tarif gabungan)
“Dengan tarif gabungan ini maka kita memiliki beberapa kelebihan, diantaranya HJE tidak berubah, mendorong HTP naik, membuat persaingan yang fair di lapangan karena yang menentukan HTP pasar, mendorong pabrik kecil untuk meningkatkan daya saing, mengurangi kecenderungan mendirikan pabrik dengan motif menjual pita cukai, dan tidak mengubah desain pita cukai,” jelas Sunaryo
Lebih lanjut Sunaryo menjelaskan, untuk pengawasan yang dilakukan dengan tarif gabungan ini tidak akan berbeda dengan yang telah dijalankan sebelumnya karena masih ada pita cukai. Selain itu DJBC saat ini juga telah menjalankan enam langkah pengawasan khusus untuk cukai, diantaranya dengan operasi pasar secara terbuka (terpadu), operasi intelijen, pemanfaatan data teknis dan data lapangan, sosialisasi kepada masyarakat, sosialisasi kepada instansi pemerintah, dan personalisasi.
Namun upaya-upaya tersebut juga masih mengalami kendala-kendala, diantaranya keterbatasan SDM, regulasi pemerintah daerah yang memberikan kemudahan izin pabrik, koordinasi intansi terkait (terutama di daerah), hukuman yang kurang memberikan efek jera, investasi (industri HT) yang sangat murah, dan aspek sosial masyarakat. “Kalau saat ini ramai diberitakan penolakan oleh asosiasi pengusaha rokok, hal itu karena tidak ada pabrik rokok yang mau beban pungutan cukai naik tiap tahun. Namun khusus untuk penolakan cukai spesifik lebih disebabkan karena akan merubah peta persaingan di pasar dan ketakutan akan adanya tarif cukai spesifik murni,” tandas Sunaryo. ADI

KONTRITBUSI DAN REFLEKSI TARGET CUKAI
Oleh : Sunaryo *
(Tulisan ini telah di publish di majalah Warta Bea dan Cukai Tahun 2003)



Semakin tidak ideal kondisi ataupun situasi di sebuah negara, makin susah produksi hukum diterapkan! Karenanya para ahli dalam berbagai bidang disiplin ilmu senantiasa menetapkan asumsi-asumsi agar teorinya/formula dapat diterapkan dalam praktik. Dalam bidang ekonomi kita sangat hafal istilah ceteris paribus. Dalam bidang matematika dan fisika kita tahu istilah variabel konstan. Dan dengan adanya asumsi tersebut formula regresi, statistik, demand suplay, elastsitas dan sejenisnya dapat diterapkan dan kita pun terkagum kagum dengan output formula tersebut.Padahal kalau kita sadar: itu hanya di “angan-angan” yang diback up dengan asumsi-asumsi.Dan di dunia realsangat susah dipenuhi, bahkan mustahil
Maaf, pembaca jangan tekecoh dengan “tulisan miring” di atas. Uraian tersebut bukanlah keluar dari mulut intelektual ataupun pakar. Itu muncul dari benak penulis yang nyembul automatically ketika tulisan ini dibuat. Namun demikian, penulis yakin jika pembaca berefleksi atas segenap fenomena hukum di negeri ini, maka akan berpendapat sama dengan penulis. Kondisi sosial dan ekonomi di negeri ini yang “tidak ideal”membuat produk hukum –undang-undang, terkadang tidak berjalan sesuai maksud dengan tujuan undang undang itu sendiri. Contoh yang paling kongkrit adalah tentang percukaian kita. Pasal 1 Undang-Undang nomor 11 tahun 1995 tentang Cukai dengan tegas mendefinisikan bahwa,”Cukai adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang- barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik yang ditetapkan dalam Undang-undang ini. “
Diperjelas dalam pasal 2 ayat (1) ,”Yang dimaksud dengan barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik yang ditetapkan adalah barang-barang yang dalam pemakaiannya, antara lain, perlu dibatasi atau diawasi”
Walaupun dalam Pasal 2 ayat (1) tersebut menggunakan kata “antara lain”-yang berarti masih memungkinkan untuk diperluas obyeknya, yang jelas dari obyek cukai saat ini yang dipungut Bea dan Cukai –Tembakau, Minuman Mengandung Etil Alkohol, dan Etil Alkohol, memiliki prinsip sama : untuk dibatasi dan di awasi. Dengan kata lain, dengan prioritas pengenaan untuk membatasi dan mengawasi, maka persoalan penerimaan dan target adalah nomor dua, bahkan bisa nomor sekian.
Dan sekali lagi, sebagaimana penulis sampaikan pada paragraf pertama tulisan ini, karena kondisi sosial ekonomi negeri ini belum “ideal” maka tujuan utama undang-undang cukai pun agak dikesampingkan. Dan ironinya setiap ada rapat-rapat yang ditanyakan juga masalah pencapaian target dan kontribusi cukai. Sepertinya tidak pernah ada sejarah rapat yang membicarakan : Berapa jumlah orang kena stroke akibat rokok. Berapa jumlah yang kangker paru-paru akibat rokok, berapa yang “burungnya” jadi impontent akibat kebanyakan merokok. Juga tidak pernah ada rapat yang sengaja merayakan “sukur alhamdulillah” akibat produksi rokok turun. Padahal logikannya, justru acara tersebut selayaknya dirayakan: produksi rokok turun, konsumsi turun, masyarakat sehat.
Kesimpulannya, saat ini percukaian kita –sebenarnya- tidak berjalah “direl” yang digariskan. Aspek penerimaan lebih dikedepankan ketimbang latar belakang pengenannya. Sehingga jika semata-mata ditinjau dari aspek budget, kinerja DJBC dalam mencapai target relatif berhasil. (Grafik 1.)
GRAFIK TARGET DAN REALISASI CUKAI
TAHUN 1994 – 2002
Ada beberapa hal yang dapat dapat dipetik dari grafik target dan realisasi cukai di atas. Pertama, terjadi peningkatan target cukai yang tajam dari tahun ke tahun. Secara average, maka sepanjang tahun 1994 – 2002 target cukai meningkat 30,05% setiap tahunnya. Peningkatan paling ekstrim terjadi tahun anggaran 1997/1998 ke 1998/1999 yaitu 74,83% (dari Rp 4,44 trilun ke Rp 7,76 triliun), disusul kemudian tahun anggaran 2000 ke 2001 yaitu sebesar 71,56% (dari Rp 10,27 trilun ke Rp 17,36 triliun).
Kedua, secara umum setiap target cukai yang dibebankan ke DJBC senantiasa tercapai. Bahkan untuk tahun anggaran 2001 ke 2002 terjadi surplus hampir Rp 1 triliun. Dan secara keseluruhan sepanjang tahun 1994 – 2002 realisasi penerimaan cukai surplus 5%.
Ketiga, jika dilihat dari kontribusinya terhadap penerimaaan perpajakan, kontribusi cukai juga terus meningkat. Tahun 1994 dari total penerimaan perpajakan Rp 36 triliun, cukai menyumbang Rp 3,15 triliun atau 8,6%, sedangkan tahun 2002 dari total penerimaan perpajakan Rp 219,6 triliun, kontribusi cukai Rp 23,3 triliun atau 10,6%.
Dengan melihat trend penerimaan dan kontribusi cukai, sepertinya sebuah fenomena yang sangat menggembirakan: target senantiasa tercapai dan kontribusi terhadap perpajakan juga meningkat. Akan tetapi jika dilihat dari sisi yang lain, jika melihat perkembangan produksi hasil tembakau akan nampak bahwa sektor sebenarnya telah “kewalahan” memanggul beban target APBN yang senantiasa naik dari tahun ke tahun. Tahun 2000 produksi hasil tembakau mencapai 235 miliar batang, tahun 2001 turun menjadi 231 miliar batang, dan tahun 2002 hanya 210 miliar batang. Dan sangat besar kemungkinan tahun sekarang dan kedepan juga akan terjadi penurunan produksi. Dan sangat mungkin jika penurunan produksi hingga mencapai dibawah dari yang di asumsikan dalam pencapaian target, target APBN pun kemungkinan besar tidak tercapai.
Satu hal yang akan ditanyakan berbagai pihak kepada DJBC adalah,”Berarti DJBC gagal dalam mengelola target cukai?”
Jika diasumsikan metodologi penetapan target cukai didasarkan atas kondisi real tahun 2002 -HJE di pasaran telah + 25 % dibawah banderol, trend produksi cenderung turun, elastisitas hasil tembakau telah negatif, maka boleh di-klaim jika DJBC gagal dalam mencapai target. Akan tetapi jika besarnya target APBN didasarkan pada semata-mata besaran makro ekonomi –PDB, inflasi, Tax Ratio negara lain, penulis ragu menjustifikasi kesalahan pencapaian target ada di DJBC.
Penulis masih terngiang-ngiang sebuah estimasi yang sangat hiperbolik tentang target cukai tahun 2003,”Tanpa kebijakan tarif dan harga dasar hasil tembakau, penerimaan cukai tahun 2003 dapat mencapai Rp 29 triliun!” Sampai sekarang pun, penulis tidak menemukan metodologi perhitungan cukai hingga mencapai angka sebagaimana disebutkan diatas: Kecuali kita masa bodoh dengan nasib pabrik menengah dan kecil yang jumlahnya 1.000 pabrik lebih.
Saat ini yang terpenting adalah menyamakan visi tentang cukai itu sendiri. Ok, memang untuk kembali absolutly ke filosofi cukai yang berlaku saat ini –untuk membatasi dan mengawasi rasanya tak mungkin. Bentangan hambatan tentu “menganga” karena negara kita masih sangat butuh “injeksi” dari cukai, terlebih setelah lepas dari IMF. Namun kita juga sewajarnya untuk memberi “nafas” barang sebentar ke sektor tembakau dalam beberapa tempo. Dan target APBN yang ditetapkan tahun depan, juga sewajarnya memberi “nafas” kepada sektor yang –sebernanya- masih terluka. Semoga.

* Penulis adalah staf Direktorat Cukai, DJBC.






Selasa, 03 Februari 2009



TELAAH KUANTITATIF KEBIJAKAN CUKAI ROKOK SPESIFIK 2007
(Tanggapan Bagi Stakeholder Yang Tak Sependapat)
Oleh: Sunaryo

Jika sekedar berpandangan revenued oriented, naik HJE rokok overall 10% maka perdebatan kebijakan cukai rokok untuk tahun 2007 tidak akan panjang. Sepertinya tak perlu-lah tim DJBC kesana kemari berpromosi dan meyakinkan ke berbagai stakeholder dengan kajian detail karena khawatir di-challenge dari berbagai aspek. Terlebih jika aspek target cukai 2007 yang Rp 42,03 triliun “insya Allah” aman tercapai, Departemen Perindustrian menerima, assosiasi industri rokok sepakat, dan tentunya Tim Tarif Departemen Keuangan,- yang baru pertama kali dilibatkan membahas kebijakan cukai 2007, dengan “enteng” menerima daripada bereksperimen dengan sistem baru yang tentunya beresiko terhadap kredibilitas eksistensi Tim Tarif,-”Begitu dilibatkan justru target cukai 2007 tidak tercapai!”.
Sebelum jauh membahas detail kenapa tarif cukai spesifik diperjuangkan DJBC untuk diterapkan, sedikit penulis teringat statement mantan Menteri Keuangan, Bapak Mar’ie Muhammad yang mengkritisi setiap kenaikan target penerimaan disikapi dengan kebijakan perpajakan sebagai strateginya. Dalam suatu kesempatan Beliau berkomentar,”Jangan bicara fiscal policy jika hanya target oriented. Fiscal policy tidak sekedar penerimaan, tapi lebih luas dari itu!” Dan sebagai respon atas saran beliau, Kebijakan cukai dengan memberlakukan sistem tarif cukai spesifik adalah,-menurut penulis, termasuk dalam “koridor” yang diminta karena dengan sistem yang baru ini, DJBC juga memiliki misi pembenahan sistem per-cukai-an yang berlaku sekarang, atau minimal tidak memperparah.

Sistem Cukai Rokok Berlaku
Sebagai pengantar pembaca, bahwa pada cukai rokok saat ini, sistem tarif yang digunakan adalah sistem tarif cukai advalorum. Dasar penggunaanya adalah Pasal 5 Undang-undang Nomor 11 tahun 1995. Cukai dihitung atas dasar besaran persentase dari harga dasar yang ditetapkan pemerintah. Harga dasar sebagai penghitungan cukai dimungkinkan harga jual pabrik atau harga jual eceran. Namun demikian berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 43/PMK.04/2005 jo. PMK 17/PMK.04/2006 ditetapkan bahwa harga dasar untuk penghitungan cukai adalah harga jual eceran.
Sistem cukai advalorum yang diterapkan sekarang tidak lepas dari karakteristik industri rokok Indonesia yang sangat heterogen. Dari kapasitas produksi pabrik, rentang produksi antara pabrik Golongan IIIB dan Golongan I mencapai 60 miliar batang. Dari aspek tenaga kerja, jumlah karyaawan untuk pabrik golongan IIIB sekitar 3-4 orang sedangkan pabrik Golongan I mencapai + 25 ribu orang. Dari pemilik pabrik yang industri rumah tangga yang mencapai + 4000 pabrik sedangkan 4 pabrik adalah perusahaan multinasional. Dengan adanya kondisi real tersebut, tarif cukai advalorum untuk seluruh jenis hasil tembakau dibuat berjenjang berdasarkan jumlah produksi per tahun.
Untuk hasil tembakau jenis SKM, SPM, dan SKT (kontributor 99,8% cukai nasional) tarif cukai advalorum yang berlaku adalah sebagaimana tabel 1 dibawah ini:


Faktor lain yang mendasari sistem advalorum diberlakukan untuk rokok karena sistem ini karena sistem ini responsif dengan inflasi. Dengan dominansi penerimaan cukai rokok yang mencapai 98% dari seluruh penerimaan cukai yang ada, maka dengan pemilihan sistem advalorum dimana HJE yang dijadikan sebagai dasar penghitungan cukai akan terus ter-update yang tentunya akan berdampak pada meningkatnya penerimaan cukai minimal setara dengan inflasi setiap tahunnya.

Fakta Real Cukai Rokok
Sistem tarif cukai advalorum dengan penggolongan pabrik, tarif, dan HJE sebagaimana tabel di atas, selain memiliki misi adil dalam pembebanan, juga memiliki misi pembinaan terhadap industri kecil. Misi pembinaan industri kecil dapat dikatakan tercapai mengingat fakta pertumbuhan pabrik rokok 2000-2006 sangat tinggi. Tahun 2000 jumlah pabrik rokok hanya 777 pabrik sedangkan tahun 2006 menjadi 4416 pabrik (+ 600 %).
Namun demikian, motif pemerintah untuk membina industri kecil untuk menjadi besar tidak sepenuhnya berjalan. Pabrik yang di golongan bawah cenderung “berdiam diri” di golongan tersebut dan bila produksinya melebihi batas atas golongan, langkah yang diambil mereka adalah mendirikan pabrik baru. Sebenarnya “sah-sah saja” jika yang mendirikan pabrik baru ini memang bertujuan untuk berproduksi secara benar. Kebanyakan diantara mereka sekedar untuk mendapatkan pita cukai untuk dijual kembali yang jelas-jelas tidak diperbolehkan oleh Undang-undang Cukai.
Fakta real berikutnya adalah “gap” nominal tarif dan HJE antar golongan pabrik dan juga antar jenis rokok. Posisi saat ini HJE terendah untuk SKT golongan IIIB adalah Rp 255 per batang sedangkan untuk golongan I SKT adalah Rp 440 per batang (173%). Demikian juga gap tarif kedua jenis tersebut: SKT IIIB 4% sedangkan SKT golongan I 22% (550%). Hal sama juga berlaku untuk jenis SKM dan SPM (lihat tabel 1).
Hal lain yang dipertimbangkan adalah terkait dengan Harga Transaksi Pasar (HTP) rokok. Akibat perkembangan HJE yang tingkat persentase melebihi tingkat inflasi setiap tahunnya, HTP telah jauh lebih rendah dari HJE yang berlaku. Data Direktorat Cukai mencatat untuk pabrik skala besar yang memiliki HTPnya sekitar 25% dari HJE dan pabrik skala kecil mencapai 50% dari HJE.

Cukai Spesifik dan Dampaknya
Tujuan pertama pemberlakuan tarif spesifik dalam rangka mengurangi gap harga transaksi pasar (HTP) dan HJE. Kalkulasinya sebagai berikut: Misalkan rokok jenis SKM golongan besar dengan HJE per batang Rp 600 dan tarif cukai 40%. Jumlah cukai yang dibayar pengusaha adalah 40% x Rp 600 = Rp 240 per batang. Pungutan lain adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 8,4% x Rp 600 = Rp 50,4%. Asumsikan keuntungan untuk distributor adalah 5% dari harga per batang, maka uang yang dishare ke distributor adalah Rp 5% x Rp 600 = Rp 30. Dengan demikian pengusaha rokok akan menerima sisanya Rp 279,6 per batang. Misalkan diasumsikan jika rokok tersebut dijual dengan harga 25% dari HTP atau Rp 450 per batang. Maka jumlah cukai dan PPN yang dibayar pengusaha ke Negara tetap karena dasar pungutan HJE bukan HTP. Dengan kondisi ini maka nominal uang yang diterima pengusaha hanya Rp 129,6. Jika tarif cukai spesifik yang dikenakan pada rokok ini dimisalkan Rp 10 per batang, maka ada dua kemungkinan respon pengusaha. Pertama, pengusaha akan menaikan HTP Rp 10 per batang (cukai menjadi Rp 240 + Rp 10 = Rp 50 per batang) sebagai respon kenaikan cukai. Pertimbangan ini reasonable karena cost production adalah tetap dan PPN juga tetap karena HJE tidak berubah. Kemungkinan kedua adalah pabrik yang rokoknya sangat responsif dengan harga. Pabrik ini tidak menaikan HTP melainkan dengan mengurangi cost production yang ada dari Rp 129,6 menjadi Rp 119,6. Konsekuensinya adalah keuntungan pengusaha berkurang dari tahun sebelumnya. Dan ini situasi yang kecil kemungkinan dilakukan karena motif utama pabrik pasti mendapatkan keuntungan minimal sama dengan tahun sebelumnya. Kalau toh pabrik merespon dengan mengurangi keuntungan per batang, maka langkah yang ditempuh dengan menggenjot produksinya, dan kembali pemerintah ikut “numpang anget” dengan respon pabrik ini (lihat tabel 2).








Alasan kedua yang mendasari pengenaan tarif cukai spesifik adalah meringankan pengusaha rokok menerima beban dua kali sebagai dampak kenaikan HJE: beban cukai dan PPN. Dengan kalkuasi HJE diatas, dalam hal Pemerintah menaikkan HJE 10%, maka pengusaha akan menerima beban dua kali: pertama kenaikan cukai 10% dari HJE dan kenaikan PPN 10% dari HJE. Sedangkan jika dengan sesitem spesifik maka pengusaha hanya dibebani Rp 10 per batang dan PPN tidak berubah dari sebelum kebijakan cukai.

Kenapa Pengusaha Rokok Menolak?
Yang menjadi pertanyaan, kenapa pengusaha menolak? Mungkin kalau menurut penulis karena sistem ini adalah baru. Bagi pengusaha tentu perlu mengubah peta dan strategi cara bersaing, khususnya dari aspek HTP. Jika sebelumnya dengan HJE dinaikan pengusaha sudah jelas siapa pesaingnya di-layer HJE yang sama. Kenaikan HJE yang ditetapkan Pemerintah juga menguntungkan pengusaha dari segi timing penyesuaian HTP di pasar karena pengusaha pabrik diwajibkan menaikan HJE secara serentak. Jadi Pabrik tidak perlu saling menunggu kapan menaikan HTP.
Alasan kedua, pengusaha sangat takut dalam hal sistem spesifik digunakan sebagai pijakan untuk menuju spesifik murni. Beberapa pihak mengambil istilah “lonceng kematian”. Padahal jika melihat karakteristik karakteristik industri rokok indonesia, sepertinya sistem tarif cukai spesifik murni, masih sangat jauh untuk diberlakukan. Pertama dari aspek jumlah pabrik rokok yang akan berdampak pada matinya 95% industri rokok kecil. Kedua, jenis rokok yang dibuat di Indonesia ada empat macam: Sigaret Kretek, Sigaret putih, Rokok Daun, Cerutu, dan TIS. Mungkin jika mempertimbangkan misi pengenaan cukai, perbedaan jenis rokok tersebut dapat diabaikan terkait dengan pembebanan cukainya. Namun jika melihat proses pembuatannya, sepertinya pembebanan yang sama akan beban cukainya adalah sesuatu yang tidak wis. Dengan demikian dalam hal dalam perjalanan memang dikehendaki memberlakukan sistem spesifik murni, paling tidak yang dibuat dengan tangan yang merupakan asli produk Indonesia harus dibedakan beban cukainya.

****
Penulis Adalah Kepala Seksi Analisis Tarif Harga dan Produksi CHT
Dit Cukai

Ass.

Sebagai awal kelahiran blg ini, kami berterima kasih atas bantuan Ihsan Andrinal sang "ahli" komputer di Cukai Hasil Tembakau. Kiranya Allah SWT. Memberikan kebaikan buat beliau ini.

Media ini ada penyambung lidah kami dalam kaitanny memasyaakatkan pengetahuan di bidang cukai hasil tembakau

Selamat menikmati