Jumat, 06 Maret 2009


KEBIJAKAN CUKAI YANG FUNDAMENTAL
Oleh : Sunaryo
(telah di gubah dalam WBC Edisi Maret 2009;Photo : Penulis bersama Siswono Yudho Husodo)

Pemerintah yang dalam hal ini Departemen Keuangan telah mengelurakan kebijakan cukai yang baru melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 203/PMK.011/2008 tentang Penetapan Tarif Cukai Hasil Tembakau. Kebijakan tersebut adalah kebijakan yang sangat fundamental di bidang cukai dengan pertimbangan beberapa alasan yang akan diuraikan dalam paparan di bawah ini.

Spesifik Murni
Dalam sejarah percukaian, PMK 203/PMK.011/2008 adalah kebijakan yang mendobrak tradisi penggunaan sistem tarif cukai advalorum yang telah diadopsi selama ini. Sistem advalorum (penghitungan cukai adalah persentase dikalikan harga dasar) telah diberlakukan sejak ordonansi cukai tembakau zaman belanda. Memang secara fakta sistem tarif tersebut praktis berhasil menjalankan fungsi pemerintah sebagai Budgeter karena secara menyeluruh target cukai yang dibebankan senantiasa tercapai. Sistem tarif tersebut juga adaptable dengan faktor inflasi kita yang fluktuatif bertahun tahun. Namun bagi yang lebih mendekat terkait dengan penggunaan sistem tarif tersebut, terdapat celah yang kurang kondusif untuk negara kita yang masih cukup tergantung dengan kontribusi cukai. Bahasa simple-nya ketika negara ini sekali waktu ingin menutup beban APBN melalui kebijakan cukai dengan maksud menambah penerimaan, maka besaran tambahan penerimaan cukai tidak efektif dari konsumen selaku pembayar cukai ke kas negara. Komposisinya dalam studi kecil yang penulis lakukan adalah 45% ke pengusaha dan 54% ke negara. Dengan demikian dari fakta ini yang membuat pada saat awal DJBC meng-introduce sistem tarif cukai spesifik pada bulan maret 2007 disambut sikap reluctant oleh pengusaha. Secara detail prhitungan sudah penulis paparkan pada media ini di awal tahun 2007.
Selain hal tersebut kelebihan atas sistem tersebut adalah jika dikaitkan dengan fungsi regulerend. Sepakat atau tidak jika trend global anti tembakau adalah tantangan yang harus disikapi. Penulis tidak melihat hal tersebut sebagai ancaman karena mengingat filosofi dasar cukai salah satunya adalah pengendalian, karenanya gerakan anti tembakau tersebut bukan sebuah ancaman bagi pengambil kebijakan cukai hasil tembakau. Penulis memilih kata “tantangan” karena kompleksitas sektor tembakau di indonesia yang harus di manage dengan benar sehinga bisa meng-entertaint semua pihak terkait baik yang pro dan kontra dengan sektor tembakau.
Sebagaimana diketahui dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 yang diamandemen dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007, tarif tertinggi adalah 57% dari harga dasar dalam hal harga dasar adalah Harga Jual Eceran (HJE). Untuk ukurang negara-negara maju besaran tarif tertinggi tersebut masih tergolong rendah karena tarif efektif yangberlaku di negara-negara maju rata-rata lebih dari 60%. Mengingat fakta ini boleh kiranya jika Indonesia masih mengandalkan sistem advalorum murni suatu saat akan mentok di golongan pabrik tertinggi sementara di golongan dibawahnya harus dinaikkan dalam hal ada kenaikan beban APBN. Pemerintah akan melanggara Undang-Undang dalam hal memaksakan semua golongan naik beban cukainya. Karena besaran tarif cukai berlaku tidak boleh melebihi 57% dari HJE karena untuk golongan tertingi saat ini . Sebagi infomasi tarif tertinggi Memang masih ada varabel HJE sebagai satu alternatif lainnya untuk dinaikan. Namun sebagaimana sebelumnya dipaparkan penggunaan variable HJE untuk instrumen kebijakan cukai tidak efektif sepenuhnya multipliernya ke penerimaan negara. Konsumen dibebani beban cukai yang lebih tinggi dari seharusnya. Bukannya pengalaman telah menunjukan lebarnya disparitas HJE dengan harga transaksi pasar (HTP) karena excesive-nya kebijakan cukai hasil tembakau dengan instrumen? Data empirik selama dua tahun, tahun 2007-2008 dengan melihat kinerja DJBC dibidang cukai, kiranya menjadi lebih dari sekedar teori bahwa DJBC telah on track. Penulis mempersilahkan pembaca untuk menilainya, tentunya tidak dengan asumsi dan hendaknya bersifat menyeluruh tidak sektoral dan skeptis.

Penyederhanaan
Nuansa penyederhanaan sebagaimana dicanangkan dalam roadmap industri hasil tembakau sangat kentara dalam PMK tersebut yaitu penyatuan penggolongan pabrik antar pabrik golongan III (pabrik dengan jumlah produksi sampai dengan 500 juta batang pertahun) dan II (pabrik dengan jumlah diatas 500 juta batang sampai dengan 2 miliar batang pertahun).
Sebagai informsi, bahwa sebelum PMK 203/PMK.011/2008 di-release, tahapan pembuatan kebijakan telah melalui prosedur yang ditetapkan yaitu dengan terlebih dahulu sounding dengan seluruh stakeholder sektor tembakau. Sebelumnya telah dilakukan sosialisai dengan institusi terkait seperti Departemen Perindustrian, Departemen Perdagangan, Departemen Tenaga Kerja, Departemen Perdagangan. dan Departemen Pertanian. Disamping itu juga telah dilakukan sosialisasi dengan subyek yang langsung terkena dampak yaitu Pengusaha Pabrik Hasil Tembakau dan Assosiasinya. Semua kemungkinan yang akan dilakukan dalam kebijakan cukai hasil tembakau untuk tahun 2009 secara global telah disampaikan pada pihak-pihak tersebut, salah satunya adalah rencana penggabungan golongan pabrik.
Penggabungan golongan pabrik memiliki dua tujuan yaitu penyederhanaan sebagaimana ditetapkan dalam Roadmap Industri Hasil Tembakau. Hal lain yang menjadi pertimbangan, kedua jenis hasil tembakau yakni SKM dan SPM adalah jenis hasil tembakau yang kurang labour intensive dibandingkan dengan jenis lain antara yaitu SKT. Sehinga kekhawatiran akan dampak ke tenaga kerja tidak perlu dibesarkan dalam hal terdapat pabrik yang tidak mampu bersaing. Terlebih hampir semua pabrik SKM memiliki dan memproduksi jenis hasil tembakau SKT sebagai jenis penyangga tenaga kerja.
Namun demikian disamping alasan mendasar tersebut dalam paragraf sebelumnya, terdapat fakta yang kurang “ethic” jika mencermati rekap data produksi per pabrik jenis SKM selama dua tahun. Terdapat lebih dari 20 pabrik yang memiliki produksi pada kisaran 499 juta batang. Padahal batas atas penggolongan pabrik untuk golongan III adalah 500 juta batang. Memang secara legal tidak ada yang perlu dipertentangkan. Tapi dalam etika “bisnis percukaian” jika dianalogkan situasinya seperti kita melihat keculasan tapi tidak bisa menahannya. Sebagai aparat fiskal tentunya tidak suka ada upaya penghindaran cukai yang secara sengaja dilakukan walau masih dalam koridor hukum. Karena perlu dibuat kebijakan yang bisa mengatasinya, “Silahkan pabrikan memperbanyak produksi dari sebelumnya dengan catatan tarif cukai naik. En toh, pabrikan tersebut telah menahan produksi kurang lebih selama dua tahun. Paling tidak mereka telah menikmati tarif cukai yang seyogyanya telah lebih tinggi paling tidak dua tahun yang lalu.”
Ada dua impact sebagai akibat kebijakan penyederhanaan ini, pertama terdapat pabrik new comer di golongan II yaitu pabrik yang selama ini terdapat pada golongan III. Pabrik pabrik ini memang akan mendapatkan kenaikan beban cukai yang lebih signifikan dibandingkan dengan yang native di golongan tersebut. Namun demikian ini adalah bagian dari resiko kebijakan yang tidak bisa dihindari. Jangankan karena ada perubahan sistem tarif yang mengharuskan menghitung besaran tarif cukai rata perbatang yang mewakili layer tersebut. Karena dengan menggabungkan saja walaupun dengan sistem advalorum murni akan berdampak kenaikan secara otomatis. Dan ini telah terjadi pada Tahu 2001 melalui PMK 597/PMK.04/2001.

SKTF dan SPTF
Bahwa pada faktanya Bangsa Indonesia adalah bangsa yang kreatif sangat terlihat dengan inovasi dalam bidang hasil tembakau. Dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 tahun 2007, Hasil tembakau dibesakan menjadi Sigaret, Tembakau Iris, Cerutu, Klembak, Klobot, dan Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya.
Untuk Sigaret dibedakan menjadi kretek yang bahan bakunya menggunakan cengkeh dan sigaret putih yang tidan menggunakan cengkeh. Kemudian jenis sigaret ini dibedakan antara yang menggunakan mesin dan yang lain dengan mesin atau biasa dibuat dengan tangan . Dari sinilah lebih di eksplisitkan dalam PMK yang berkaitan dengan tarif dan harga dasar hasil tembakau dimunculkan terminologi SKM, SKT, SPM, TIS, dan seterusnya. Namun demikian pada tahun 2005 munculah inovasi jenis hasil tembakau yang dienal Sigaret Kretek Tangan Filter (SKTF). Secara fisik bentuknya sangat mirip dengan SKM. Namun demikian secara teknik per-sigaretan dengan mengutip para pakar yang berkecimpung dunia sigaret, jenis SKTF taste sebenarnya tidak mungkin enak karena terdapat rongga udara antara filter dan tembakaunya karena pembuatannya tidak menggunakan mesin. Hal itu memang masih dapat diperdebatkan. Namun kehadiranya dalam blantika per-sigaretan sungguh mengcengangkan: tarifnya rendah karena masuk kategori SKT namun dapat menjadi substitution product dari jenis SKM yang bertarif cukai tinggi. Terlebih dengan disparitas tarif cukai ini banyak pihak mengambil celah memanfaatkannya dengan mengisinya dengan jenis SKM. Dampaknya jenis SKM yang merupakan kontributor utama penerimaan cukai tersaingi, bukan leh SKTF legal melainkan SKTF ilegal yaitu izin mereknya SKTF tapi diisi SKM.
Memang masalah awal adalah pengawasan namun mengutip Ibu Menteri Keuangan ketika mendengar informasi ini kurang lebihnya ,”Kita tidak boleh menyerah atas suatu persoalan yang tidak benar hanya karena cara utama belum bisa. Harus dicari alternatif solusi!” Kemudian ditindaklanjuti dengan PMK 134/PMK.04/2007 yang menyamakan kebijakan tarif cukai dan harga dasar SKTF menjadi sama dengan SKM. Beban pengawasan sangat terbantu dengan kebijakan ini.
Setelah selesai dengan persoalan SKTF muncul trend baru di dunia per-sigaretan. Sebuah varian baru muncul di pasaran namanya Sigaret Putih Tangan Filter (SPTF). Secara fisik sangat menyerupai SKM, SKTF, dan SPM. Sigaret ini muncul pertama kali di Manado tahun 2001 yang hanya diproduksi satu pabrik namun demikian belum menggunakan filter (SPT). Kebijakan saat itu melalui PMK 449/PMK.04/2002 dimasukan dalam satu golongan hasil tembakau jenis Klobot (KLB) dan Kelembak Menyan (KLM) dengan pertimbangan satu: mengakomodir praktek lapangan untuk memperjelas.
Berbeda situasinya dengan tujuh tahun kemudian, jenis SPTF menjadi trend dibebarapa tempat. Bahkan di Nusa Tenggara Barat yang sebenarnya bukan sentra industri rokok, varians jenis hasil tembakau ini diproduksi. Ketika bulan Juni 2008 dilakukan inspeksi di beberapa wilayah sentra industri rokok didapti banyak pabrik telah memproduksi jenis ini. Ketika di taste dari bau dan rasa didapati ada harum dan taste cengkeh walupun mereka menyampaikan bahwa yang digunakan bukanlah cengkeh yang dirajang melainkan dari saus cengkeh. Dan dalam praktinya terdapat pula pabrik yang memanfaatkan celah ini untuk menghindari beban cukai tinggi dengan mengisinya hasil tembakau jenis SKM. Sekali lagi modus lama digunakan kembali mengingat penggolongan SPT dan SPTF saat itu masuk dalam penggolongan KLB/KLM. Untuk merespon situasi tersebut agar tidak timbul upaya penghindaran pembayaran cukai, maka dalam PMK 203/PMK.011/2008 kebijakan jenis hasil tembakau SPTF disamakan dengan jenis SKM.

Dari Castro ke Sastro
Hal terakhir yang mendasar dalam PMK 203/PMK.011/2008 adalah bagaimana melindungi industri dalam negeri. Penulis meyakini di semua negara pasti membuat kebijakan yang melindungi industri Dalam Negeri. Bahkan dalam situasi krisis ekonomi sekarang ini, negar-negara pencetus teori ekonomi sepertinya melanggar konsep teori yang sebelumnya di agung-agungkannya agar pemerintah jangan terlalu campur tangan dalam perekonomin. Paling tidak dengan contoh Amerika Serikat dengan rancangan program stimulus ekonominya dapat menjadi cermin apa yang kita lakukan tidak ada apa-apanya dan pasti tidak melanggar aturan.
Singkat kata dalam PMK 203/PMK.011/2008 terdapat satu lampiran yang sangat signifikan dampaknya terhadap impor hasil tembakau. Hasil tembakau tersebut adalah Cerutu. Dengan PMK 203/PMK.011/2008 jenis cerutu akan mengalami dampak kenaikan yang signifikan dengan adanya kenaikan batasan HJE minimum. Tujuan kebijakan ini salah satunya mengakomodir tuntutan instansi terkait. Istilah mereka mengembalikan ke khitah tembakau yang itu dari Castro ke Sastro. Sebagimana diketahui cerutu yang paling terkenal adalah dari negaranya Fidel Castro padahal bahan bakunya dari Indonesia negaranya Sastro.

Penutup
PMK 203/PMK.011/2008 adalah kebijakan cukai yang mengarah simplifikasi baik dari segi tarif cukai maupun pegolongan pabrik yang searah dengan roadmap industri hasil tembakau. Kedua kebijakan tersebut adalah kebijakan yang akan menjadi landasan kebijakan cukai selanjutnya dalam rangka menjalankan regulair dan fungsi budgetair.

Jumat, 13 Februari 2009

Wacana Pengharaman Rokok:
Mendidik Perilaku Perokok, Jangan Menekan Petani
(Majalah Perkebunan edisi Pebruari 2009)


Wacana yang sedang santer soal tembakau sebaiknya lebih mengarah kepada edukasi bagi perilaku perokok daripada menggulirkan kebijakan yang dapat menekan petani dan produksi tembakau.

Demikian salah satu pokok pendapat dari Ketua Badan Pertimbangan Organisasi DPN HKTI, Siswono Yudo Husodo pada diskusi Empat Jam Bersama Pemuda Tani Indonesia dan bertajuk ”Menyikapi Kontroversi Tembakau dan Industri Ikutannya (Rokok) Secara Obyektif ”. Acara tersebut digelar di Jakarta Design Center, Tanggal 20 Januari 2009 diselenggarakan untuk mengurai benang kusut wacana pengharaman rokok oleh Majelis Ulama Indonesia belakangan ini.
Seperti halnya tembakau yang memiliki stake holder yang luas diskusi ini juga dihadiri oleh lebih dari 100 orang peserta dari berbagai kalangan, yaitu petani, pelaku usaha, pejabat pemerintah terkait, akademis, Lembaga Swadaya Masyarakat, tokoh agama, mahasiswa dan pers. Bersama Siswono Yudo Husodo, pemateri lainnya adalah Sunaryo, Seksi Cukai Tembakau 2 Direktorat Cukai, Ditjen. Bea dan Cukai, Departemen Keuangan RI, Ismanu Soemiran, Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), dan K. H. Maksum, Pengasuh Ponpes Ciwaringin, Cirebon.
Paparan tentang kontribusi dan posisi strategisnya tembakau bagi petani dan pendapatan bagi negara di jabarkan oleh Siswono Yudo Husodo yang tampil sebagai pembicara pertama. Tembakau dan industri hasil ikutannya (rokok) selama ini telah memberikan kontribusi cukup besar terhadap ekonomi nasional. ”Dari sisi hulu sampai hilirnya, industri tembakau atau rokok menyerap Tenaga Terlibat Langsung (TTL) sebesar 6,1 juta. Jika tiap TTL diasumsikan menghidupi 4 orang, berarti terdapat sekitar 24,4 juta jiwa yang dihidupi”, terang Siswono Yudo Husodo.


Kontribusi GDP
Angka Tersebut makin membengkak jika dijumlahkan dengan penyerapan Tenaga Tidak Terlibat Langsung (TTTL) terdapat sekitar 30,5 juta orang yang hidup dan bergantung pada industri tembakau. Rangkaian penghidupan yang bersumber dan bersentuhan dengan tembakau antara lain pertanaman tembakau dan pemeliharaannya, cengkeh, IHT, Industri terkait lainnya sampai distribusi dan retail. Kontribusi bagi pendapatan nasional juga menyentuh kisaran angka fantastis. Tengok saja kontribusi bagi nilai ekonomi akhir (Ultimatre Economi Value) dan Gross Domestic Product (GDP) dari Industri Hasil Tembakau (IHT) tahun 2008. GDP IHT adalah sebesar Rp 5.000 triliyun atau sekitar 2,4 % dari GDP Nasional. Sedangkan cukai dan pajak lainnya adalah sebesar Rp 57 ttiliyun dan trendnya pun bakal terus menanjak.
Selama ini industri rokok Tanah Air juga menghidupi kalangan petani pekebun tembakau dan cengkeh karena sekitar 90% industri rokok menggunakan bahan baku tembakau dan cengkeh lokal yang sebagian besar dari perkebunan rakyat. Hal ini disampaikan oleh Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Ismanu Soemiran yang juga menunjuk bahwa lapangan kerja industri ini begitu fleksibel dan luas. ”Pekerja yang terserap industri ini berlatar balakang pendidikan minim bahkan dari yang tidak punya ijazah sama sekali hingga pendididkan doktor!” tegas Ismanu. Dari sisi keyakinan agama pun, tambahnya, 95 % adalah muslim.

Tidak ditemukan dalil haram
Wacana pengharaman rokok merupakan isu sensitif karena menyentuh hukum agama dan bersinggungan langsung dengan umat Muslim di Indonesia. Menurut KH Maksum, pengasuh Ponpes Ciwaringin, Cirebon, dalam Alquran sendiri juga tidak ditemukan dalil haram untuk rokok. Ia juga memprediksi bahwa MUI tidak akan gegabah mengeluarkan fatwa haram melihat industri rokok dan tembakau khususnya, selain soal dalil agama juga karena tembakau menjadi gantungan hidup rakyat banyak.
Ia juga mengingatkan agar banyak kalangan hati-hati menggulirkan wacana ini terutama karena sudah masuk konteks agama. ”Fatwa MUI sebenarrnya bagus supaya pengusaha tidak terlelap tidur bahwa ada persoalan sosial yang penting,” ujar KH Maksum mengingatkan kalangan pebisnis agar meningkatkan kontribusinya bagi kesejahteraan petani.
Seperti Siswono, KH Maksum juga lebih sepakat jika perilaku perokok yang lebih diperhatikan. Misalnya sosialisasi mengkonsumsi rokok sebaiknya tidak di tempat umum atau dilakukan di tempat khusus. Ulama humoris ini juga yakin bahwa umat juga bisa menerima anjuran tidak merokok jika dilakukan dengan pendekatan yang halus misalnya pendekatan etika pergaulan dan sopan santun.

Adil
Diskusi yang dimulai dari pagi bergulir menghangat ketika masuk sesi tanya jawab. Petani sebagai salah satu stake holder atau pemangku kepentingan juga hadir dan meramaikan diskusi dengan memaparkan konsekuensi dan kritisi terhadap wacana rokok haram dan kebijakan industri rokok selama ini. ”Sebagai salah satu daerah utama penghasil tembakau, kami menolak pengharaman rokok. Kontribusi kami sebagai petani bagi pendapatan nasional sangat besar tapi jika diharamkan kami juga tidak bisa serta merta berganti komoditas!” tegas Wisnubrata, Kepala Desa Campur Sari, Bulu Temanggung. Pak Lurah yang juga dipercaya sebagai Asosiasi Petani Tembakau Jawa Tengah ini juga menggarisbawahi pernyataan Siswono sebelumnya bahwa tembakau merupakan tanaman lokalize dan spesifik.
Ia juga mengkritisi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau yang memberikan dana lebih besar bagi daerah yang bukan sentra tembakau dan rokok. ”Ini tidak pas dan tidak adil karena petani juga butuh pengembangan usaha dan budidaya tembakau yang berkualitas,” kata Wisnubrata yang diamini oleh para petani yang hadir dan berasal dari berbagai daerah selain Temanggung misalnya dari Jember dan Bondowoso, Jawa Timur.

Rumusan Diskusi
Diskusi siang itu melahirkan pula rumusan penting bagi wacana industri rokok dan tembakau. Antara lain tembakau merupakan tanaman industri yang dipilih oleh petani dalam berusaha tani dan berdasarkan pemikiran dan kondisi yang sangat rasional dan menguntungkan. Hak memilih komoditas pertanian tersebut mendapat perlindungan dari UU No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman. Dalam UU tersebut di pasal 6 ayat 1 yang berbunyi ” Petani memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan jenis tanaman dan pembudidayaannya.
Sifat lokalize dan spesifik yang melekat pada tembakau sangat sesuai dengan pola tanam yang telah dilaksanakan oleh para petani di masing-masing lokasi penanaman tembakau seperti Temanggung, Wonosobo, Sleman, Madura, Bojonegoro, Besuki, Deli, Lombok dan lain-lain. Maka, jika petani diminta untuk megurangi atau mengendalikan tanaman tembakau merupakn kebijakan yang naif. Perusahaan rokok juga akan mengalami kesulitan bahan baku untuk membuat rokok. Kesulitan bahan baku tersebut akan dipenuhi dengan melakukan impor daun tembakau, yang pada akhirnya dapat mengurangi devisa negara.
Melihat begitu strategisnya peran tembakau dan IHT dalam menopang perekonomian negara disampaikan pula himbauan kepada Majelis Ulama Indonesia (MUI) agar dapat mempertimbangkan secara arif dan bijaksanan untuk tidak gegabah mengeluarkan fatwa haram tentang rokok. Sebab, jika sudah difatwakan, konsekwensi hukum adalah berat yaitu berdosa jika digunakan atau bersentuhan. Padahal masalah rokok dan tembakau dari aspek agama Islam tidak ada dalil yang shorih (tegas dan jelas) baik dalam AL-Qur’an maupun dalam Hadis. Ulama berbeda pendapat, ada yang mengatakan haram (pendapat yang dloif/lemah), mubah juga dloif dan makruh (pendapat yang mu’tamadun (pendapat yang kuat).
Dana yang diperoleh pemda provinsi dan kabupaten yang mendapat Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau sebagimana tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.07/2008 juga dihimbau agar dialokasikan oleh gubernur dan bupati untuk peningkatan mutu bahan baku. Upaya lainnya yaitu melakukan pilot-pilot project yang dapat menghasilkan verietas tembakau dengan kandungan nikotin dan tar rendah dengan memanfaatkan lembaga-lembaga litbang, melakukan penanganan panen dan pasca panen bahan baku serta penguatan kelembagaan kelompok tani tembakau.
Terakhir, pemerintah terus memberikan perlindungan bagi petani tembakau dan mengedukasi atau mendidik masyarakat umum tentang bahaya rokok serta menghimbau kepada pemerintah dan/atau DPR-RI perlu mempersiapkan RUU Dampak Tembakau Terhadap Kesehatan secara komprehensip dan berimbang. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan dengan berbagai penyesuaian dapat ditingkatkan menjadi konsep RUU.

Kamis, 05 Februari 2009


Dana Cukai Tembakau tak Sampai ke Petani
Jakarta (BisnisBali)

(Salah satu hasil liputan mengikuti Workshop Pemuda Tani Indonesia di Gedung Jakarta Design Centre)



– Dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBH CHT) yang memberikan alokasi untuk pembinaan bagi petani tembakau hingga saat ini tidak sampai ke petani.Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Jawa Tengah Wisnu Broto di Jakarta, Selasa (20/1) kemarin mengungkapkan, berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 84 tahun 2008 DBH CHT dialokasikan untuk penghasil cukai sebesar 40 persen, pemerintah propinsi 30 persen dan kabupaten 30 persen yang di dalamnya termasuk untuk pembinaan petani tembakau."Namun alokasi dana bagi hasil cukai untuk petani ini tidak digunakan untuk kegiatan yang benar-benar pembinaan petani," katanya dalam diskusi menyikapi “Kontroversi Tembakau dan Industri Ikutannya secara Objektif” yang diselenggarakan DPP Pemuda Tani Indonesia.Wisnu yang juga petani tembakau dari Kabupaten Temanggung Jateng itu menyatakan, pembinaan petani sebenarnya ditujukan untuk meningkatkan mutu bahan baku yang dihasilkan petani serta menghasilkan varietas tembakau dengan kadar nikotin rendah.Kegiatan pembinaan petani tembakau selama ini, tambahnya, hanya berupa pemasangan spanduk-spanduk yang dinilai tidak memberikan manfaat langsung dalam peningkatan mutu produk yang dihasilkan petani.Menanggapi hal itu Kepala Seksi Cukai II Ditjen Bea dan Cukai, Sunaryo mengatakan, dana bagi hasil cukai hasil tembakau tersebut memang tidak dialokasikan untuk wilayah penghasil bahan baku namun bagi daerah penghasil cukai."Jadi DBH CHT ini untuk wilayah yang ada industrinya bukan penghasil bahan baku tembakau," katanya.Menurut Pasal 66 A, Undang-undang No.39 tahun 2007 tambahnya, penerimaan negara dari CHTI dibuat di Indonesia dibagikan kepada propinsi penghasil cukai hasil tembakau sebanyak 2 persen."Gubernur mengelola dan menggunakan DBH-CHT dan mengatur pembagiannya di daerahnya masing-masing," katanya. Pengunaan DBH CHT sebagaimana tertuang dalam Permenkeu No. 84 tahun 2008, menurut dia, yakni untuk peningkatan kualitas bahan baku, pembinaan industri, pembinaan lingkungan sosial, sosialisasi ketentuan di bidang cukai dan atau pemberantasan barang kena cukai ilegal.Sementara itu Ketua Badan Pertimbangan Organisasi Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Siswono Yudhohusodo meminta gubernur dan bupati/wali kota yang wilayahnya memperoleh DBH CHT agar benar-benar diarahkan bagi peningkatan mutu bahan baku.Menurut dia, pada 2008 negara memperoleh pemasukan lebih dari Rp 57 trilyun dari cukai rokok serta pajak lainnya yang diperkirakan akan terus meningkat setiap tahunnya. Oleh karena itu, tambahnya, selain untuk peningkatan mutu bahan baku DBH CHT juga harus dimanfaatkan untuk melakukan proyek percontohan yang dapat menghasilkan varietas tembakau yang memiliki kandungan nikotin rendah dengan memanfaatkan lembaga-lembaga Litbang serta mengefisienkan penanganan panen dan pasca panen bahan baku maupun penguatan kelembagaan kelompok tani tembakau. *ant

Dana Cukai Tembakau tak Sampai ke Petani
Jakarta (BisnisBali)


(Salah satu hasil liputan mengikuti Workshop Pemuda Tani Indonesia di Gedung Jakarta Design Centre)






– Dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBH CHT) yang memberikan alokasi untuk pembinaan bagi petani tembakau hingga saat ini tidak sampai ke petani.Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Jawa Tengah Wisnu Broto di Jakarta, Selasa (20/1) kemarin mengungkapkan, berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 84 tahun 2008 DBH CHT dialokasikan untuk penghasil cukai sebesar 40 persen, pemerintah propinsi 30 persen dan kabupaten 30 persen yang di dalamnya termasuk untuk pembinaan petani tembakau."Namun alokasi dana bagi hasil cukai untuk petani ini tidak digunakan untuk kegiatan yang benar-benar pembinaan petani," katanya dalam diskusi menyikapi “Kontroversi Tembakau dan Industri Ikutannya secara Objektif” yang diselenggarakan DPP Pemuda Tani Indonesia.Wisnu yang juga petani tembakau dari Kabupaten Temanggung Jateng itu menyatakan, pembinaan petani sebenarnya ditujukan untuk meningkatkan mutu bahan baku yang dihasilkan petani serta menghasilkan varietas tembakau dengan kadar nikotin rendah.Kegiatan pembinaan petani tembakau selama ini, tambahnya, hanya berupa pemasangan spanduk-spanduk yang dinilai tidak memberikan manfaat langsung dalam peningkatan mutu produk yang dihasilkan petani.Menanggapi hal itu Kepala Seksi Cukai II Ditjen Bea dan Cukai, Sunaryo mengatakan, dana bagi hasil cukai hasil tembakau tersebut memang tidak dialokasikan untuk wilayah penghasil bahan baku namun bagi daerah penghasil cukai."Jadi DBH CHT ini untuk wilayah yang ada industrinya bukan penghasil bahan baku tembakau," katanya.Menurut Pasal 66 A, Undang-undang No.39 tahun 2007 tambahnya, penerimaan negara dari CHTI dibuat di Indonesia dibagikan kepada propinsi penghasil cukai hasil tembakau sebanyak 2 persen."Gubernur mengelola dan menggunakan DBH-CHT dan mengatur pembagiannya di daerahnya masing-masing," katanya. Pengunaan DBH CHT sebagaimana tertuang dalam Permenkeu No. 84 tahun 2008, menurut dia, yakni untuk peningkatan kualitas bahan baku, pembinaan industri, pembinaan lingkungan sosial, sosialisasi ketentuan di bidang cukai dan atau pemberantasan barang kena cukai ilegal.Sementara itu Ketua Badan Pertimbangan Organisasi Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Siswono Yudhohusodo meminta gubernur dan bupati/wali kota yang wilayahnya memperoleh DBH CHT agar benar-benar diarahkan bagi peningkatan mutu bahan baku.Menurut dia, pada 2008 negara memperoleh pemasukan lebih dari Rp 57 trilyun dari cukai rokok serta pajak lainnya yang diperkirakan akan terus meningkat setiap tahunnya. Oleh karena itu, tambahnya, selain untuk peningkatan mutu bahan baku DBH CHT juga harus dimanfaatkan untuk melakukan proyek percontohan yang dapat menghasilkan varietas tembakau yang memiliki kandungan nikotin rendah dengan memanfaatkan lembaga-lembaga Litbang serta mengefisienkan penanganan panen dan pasca panen bahan baku maupun penguatan kelembagaan kelompok tani tembakau. *ant

“HOT- HOT CHIKEN’S FECES”
Oleh : Sunaryo
(tulisan ini telah di publikasi Majalah Warta Bea dan Cukai)

Penulis mempersilahkan pembaca untuk menertawai judul tersebut. Tertawa mengejek lantaran dalam perespektif grammar amburadul, atau tertawa lucu lantaran ungkapan itu tak lazim dalam Bahasa Inggris sebagaimana halal bil halal di Arab Saudi. Yang jelas lantaran banyak fenomena di Nusantara ini yang klop dengan ungkapan-”Hangat-hangat tahi ayam”, penulis terpaksa memakai judul tersebut. Toh dalam bahasa tak ada kebenaran mutlaq. Yang ada hanya lazim dan tak lazim dengan kaidah bahasa yang disepakati. Jadi sah-sah saja kalau penulis memakainya kan? Apalagi jaman demokrasi. Yang “ngomong ngawur” saja diblow up media dan diberitakan, apalagi yang ada dasarnya! Dan penulis mempersilahkan pembaca untuk tidak setuju-apalagi setuju dengan ke-shahihan judul itu, termasuk apa yang akan penulis ungkap di Media ini. Karena-sekali lagi, “Ini Demokrasi bung!”. Toh, maksud tulisan ini bukan argumentatif semata, walaupun ada bumbu Statistika. Penulis hanya sekedar gendu-gendu rasa dengan sesama Bea Cukai di “gardu” Warta Bea Cukai ini.
Setelah terjadi ledakan bom di Hotel Marriot -sering diplesetkan “Bom Ma’ Erot”, gedung-gedung perkantoran seantero Indonesia membuat kebijakan super ketat dengan memeriksa setiap mobil yang keluar masuk karena khawatir tragedi Bom Marrriot terulang. Setelah lewat tragedi itu kurang lebih sebulan atau dua bulan, pengamanan pun kembali seperti sedia kala:”landai-landai saja!”
Ketika heboh pe-“ndangdut” asal Pasuruan, Inul Daratista, ruang angkasa Indonesia dipenuhi berita sang “Ratu Ngebor”. Pakar hukum menyoroti persoalan legalnya dan muncul pro dan kontra persoalan pornografi, hak asasi, dan berekspresi yang dibatasi. Bagi seorang marketing, fenomena Inul ditelaah di forum, seminar, talk show, dan dengan media tersebut “berterbanganlah” ditelinga kita istilah differensiasi, segmentasi, spesialisasi, dan “sasi-sasi” yang lain. Sekali lagi, “Itu bertahan paling lama dua bulan”. Setelah itu?, “landai-landai saja!”
Harus diakui bahwa kebiasaan “hangat-hangat tahi ayam” adalah satu dari sekian ciri bangsa ini. Monggo pembaca untuk me-review kasus-kasus politik, ekonomi, budaya dan sosial yang telah lewat. Ramai diawal muncul, selesainya tidak ketahuan, atau bahkan hilang ditelan ramainya kasus lain. Dan sebagai bagian dari elemen bangsa ini, institusi-institusi pemerintahan (termasuk DJBC), dalam setiap kebijakannya sering mengalami hal serupa: “hanya menggebu-gebu di awal kebijakan.”
Penulis ingat betul ketika Undang-undang Nomor 10 dan 11 Tahun 1995 (sekaligus kembalinya wewenang DJBC untuk memeriksa fisik barang diatas USD $ 5.000) akan diberlakukan. Semua aparat DJBC sibuk bersiap diri untuk show up bahwa DJBC mampu mengemban amanat masyarakat. Begitu antusiasnya sampai-sampai diberlakukanlah Apel Pagi Sore setiap hari (militer saja tidak demikian). Jika sebelumnya di kantor pusat mengenal dua macam apel: Apel Pusat dan Apel Direktorat, yang pelaksanaanya paling banyak sebulan empat kali, dengan kebijakan baru apel dilaksanakan saban hari. Tidak cukup dengan itu, diwajibkan juga bagi tiap direktorat untuk latihan baris berbaris seminggu sekali dihalaman kantor pusat. Seminggu berturut-turut dihalaman kantor pusat, dari pukul 08.00 sampai 10.00 senantiasa nampak pasukan baris berbaris. Jika saja saat itu reformasi telah bergulir, pasti ada pihak yang berkomentar,”Bea Cukai kurang kerjaan! Dua puluh lima pesen dari jam kerja habis untuk baris ngalor ngidul di lapangan!”
Lewat sebulan kebijakan apel diberlakukan, situasi kembali ke “jaman lama”: landai landai saja. Jika sebelumnya penulis hendak keluar ruangan harus mengantongi secarik kertas izin dari atasan, maka sesudahnya penulis bebas keluar masuk tanpa alasan. Apel pagi yang awalnya penuh sesak, sesudahnya sangat longgar bahkan tak jarang satu Direktorat tak satupun yang hadir. Dan situasinya : Aman-aman saja! Sama-sama maklum, sama-sama mengerti, dan sama-sama tahu diri, yang rajin monggo yang malas ya ora opo-opo. Toh tidak ada “sejarah” yang mencatat pegawai tidak naik pangkat lantaran tak pernah apel.
Begitu kebijakan apel dirubah dari setiap hari menjadi seminggu sekali, fenomenanya juga semacam, dan semakin menguatkan bahwa hot-hot chiken’s feces adalah karakter kita. Sadar bahwa beban apel ringan, bulan pertama kebijakan diberlakukan, halaman kantor pusat senantiasa penuh. Lewat dari itu, situasinya kembali : aman-aman saja!
Sekedar ingin tahu fenomena, tanggal 17 Desember 2002 penulis “iseng” untuk sekedar membandingkan laporan apel di Sekretariat dengan kehadiran peserta apel real dilapangan. Penulis mencoba menelaah dari aspek statistik. Dan semoga out put-nya dapat digunakan sebagai refleksi atas salah satu karakter kita yang sering “Hot-Hot Chiken’s Feces”.
Dalam survei tersebut kami membandingkan kehadiran apel pagi-sore antara realita sesungguhnya di lapangan dengan rekap absen apel yang diserahkan ke Sekretariat (administrasi). Penulis menelaah berdasarkan variabel: Sembilan Unit Eselon II di Kantor Pusat , Kehadiran dan Ketidakhadiran, dan Pagi-Sore sebagai variabel pelaksanaan apel.

Disiplin Pegawai Kantor Pusat “Fantastis!”
Jika pembaca menilai kedisiplinan dari hasil rekapitulasi apel pagi-sore pada Sekretariat, maka timbul perasaan kagum,”Fantastis sekali tingkat kehadiran apel pagi-sore di Kantor Pusat!”. Rata rata tingkat kehadirannya mencapai 99,68% untuk apel pagi dan 97%. Penulis haqul yaqin itu rating tertinggi jika dibandingkan dengan kedisiplinan di seluruh instansi negeri ini.
Akan tetapi sangat kontradiksi jika dibandingkan dengan realisasi sesunguhnya di lapangan. Tingkat kehadiran apel pagi-sore rata-rata hanya 19,94% untuk pelaksana, 19,45% Eselon IV, dan 12,5% Eselon III. Jika dirata-rata tingkat kehadiran hanya 17,7% : “Fantanstis” juga kan?
Jika tingkat kedisiplinan di ranking berdasarkan Sembilan Unit Eselon II di Kantor Pusat, Direktorat Kepabeanan Internasional menempati ranking tertinggi dengan point 33,3% disusul Direktorat PPKC sebesar 31,6%. Posisi terbawah ditempati Direktorat P2 dan Sekretariat dan dengan point 13,16% dan 8,20%.
Antara Pegawai Pelaksana, Eselon IV, dan Eselon III, peringkat tertinggi tingkat kehadiran apel pagi ditempati Eselon IV dengan point 19,27% disusul Pelaksana 17,68%, dan Terakhir Eselon III dengan ponit 12,50%.

Out put Inferens Statistik
Disamping mendiskripsikan data, penulis lebih jauh menguji dengan inferens statistik. Penulis menguji apakan ada perbedaan persepsi kehadiran dan ketidakhadiran antara Eselon III, Eselon IV, dan Pelaksana. Metodenya Crostab dengan Distribusi Khai Square sebagai instrumen uji. Hasilnya menunjukan bahwa antara Eselon III, Eselon IV, dan Pelaksana tidak ada perbedaan persepsi terhadap kehadiran dan ketidakhadiran apel. Dengan kata lain,”Eselon III, Eselon IV, dan Pelaksana memiliki pesepsi yang sama terhadap kehadiran dan ketidakhadiran!” Jika dikejar lebih jauh,”Kehadiran dan ketidakhadiran sama-sama penting atau sama-sama tidak penting?” Jika persepsinya sama-sama penting, kok kontradiksi dengan kenyataan di lapangan. Akan tetapi jika penulis menyimpulkan antara pejabat dan pelaksanan berpersepsi-”Sama-sama tak penting!”, takut pamali. Kalau faktanya dan datanya mendukung kesimpulan terakhir? Kembali, penulis mempersilahkan untuk menyimpulkan sendiri termasuk untuk tidak setuju-apalagi setuju dengan survei ini. Karena demokrasi berlaku juga buat siapa saja, termasuk pegawai negeri!.
Pengujian kedua menguji,”Apakah ada perbedaan jumlah significant antara apel pagi dan sore?” Instrumennya Distribusi Normal metodenya Uji Dua Rataan. Hasilnya menunjukan bahwa antara pagi dan sore tidak ada perbedaan jumlah yang significant. Kesimpulannya, jumlah peserta apel pagi dan sore cenderung sama. Jika ditarik lebih jauh,”Peserta apel pagi dan sore orangnya itu-itu juga (orang yang sama)” Dan tingkat kedisiplinan terhadap jam kerja pegawai kantor pusat juga tercermin dari jumlah peserta apel tersebut.

Saran- Saran
Dengan paparan diskriptif dan inferens di atas, sepertinya ada kesepakatan bahwa perilaku”Hot-Hot Chicken’s Feces” perlu diatasi (wabil khusus untuk penulis). Jika apel dijalankan dengan perilaku seperti itu, mungkin tidak berekses yang siginificant. Paling hanya potong TKPN, itupun yang mau jujur tidak mau absen karena memang tidak hadir. Akan tetapi jika perilaku “menggebu di awal seterusnya biasa” dijalankan pada kebijakan lain yang melibatkan isntitusi lain dan pihak terkait, penulis yakin visi-misi DJBC tak akan tercapai.
Seorang bijak mengatakan,”Allah lebih menyukai kegiatan yang sedikit tapi terus menerus (dawam), bukan menggebu-gebu di awal waktu (walaupun out put-nya banyak).” Atau jika penulis boleh ber-analog, ejakulasi dini itu kan satu kelainan (penyakit yang di-eufimistis adat ketimuran). Jangankan pihak wanita, pihak pria yang mengalami nya (walaupun sama-sama ejakulasi hanya ada persoalan “dini” dan “tidak dini”) pun merasa tertekan, minder, dan malu. Padahal contoh tersebut sekedar kasus yang hanya melibatkan dua pihak: pria dan wanita. Apa jadinya jika DJBC bersifat “ejakulasi dini” terhadap kebijakan yang melibatkan puluhan bahkan ratusan pihak yang berkepentingan?
Yang terakhir, sekarang telah ditabuh genderang era reformasi kepabeanan dan cukai? Agar berhasil, penulis memiliki saran, “Ingatlah bahaya ejakulasi dini!” Dan penulis yakin untuk terakhir ini pasti ingat.

****
Penulis Adalah Staff Direktorat Cukai

Rabu, 04 Februari 2009

Tahun 2009 Tarif Cukai Rokok Naik 7 Persen

Rabu, 07/01/2009 - 22:56



Mulai 1 Februari pemerintah memberlakukan tarif cukai baru yang rata-rata naik sebesar 7 persen.
Kebijakan pemerintah dengan menaikkan tarif cukai hasil tembakau sebesar 7 persen ini bertujuan untuk mengendalikan konsumsi rokok dan mencapai target penerimaan cukai 2009 sebesar Rp. 48,2 triliun. Otomatis, dengan adanya kenaikan ini, maka dipastikan akan ada kenaikan Harga Jual Eceran (HJE) yang besarnya tergantung dari kebijakan masing-masing produsen rokok dengan mempertimbangkan daya beli konsumen.
Kebijakan ini efektif diberlakukan pada 1 Februari 2009 seperti diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 203/PMK.001/2008 tanggal 9 Desember 2008. Dalam peraturan ini, perusahaan rokok bisa menetapkan harga transaksi pasar sebesar 5 persen di atas HJE dengan skema pengaturan yang terdapat pada pasal 9 PMK No.203.
Untuk mengantisipasi pemberlakukan tarif cukai baru pada Februari 2009, pada 15 Desember 2008 lalu, bertempat di auditorium gedung B, Kantor Pusat Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) melaksanakan sosialisasi PMK Nomor 203/PMK.011/2008 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau.
Sosialisasi dihadiri oleh para pegawai khususnya perwakilan dari bidang cukai Kantor Bea dan Cukai di seluruh Indonesia dan dibuka secara simbolis oleh Direktur Cukai, Frans Rupang. Sebagai nara sumber dalam sosialisasi tersebut, Kasubdit Cukai Hasil Tembakau, Pattarai Pabottinggi yang menjelaskan pasal demi pasal dalam PMK Nomor 203, Kasi Perijinan dan Fasilitas Hasil Tembakau, Nur Rusdi yang menjelaskan secara teknis pelaksanaan ketentuan PMK 203,dan Sunaryo analis tarif cukai yang saat ini bertugas sebagai PFPD di KPU Tanjung Priok, menerangkan tentang Peraturan Direktur Jenderal Nomor 35 tentang Tata Cara Penetapan Tarif Cukai Hasil Tembakau .
Kepada WBC Frans Rupang mengemukakan, alasan dilakukannya sosialisasi sesuai dengan kebijakan baru dibidang cukai untuk tahun 2009 yang baru saja ditandatangani Menteri Keuangan, sedangkan dalam rangka kelancaran pelaksanaannya pada 1 Februari 2009 harus segera dilakukan sosialisasi ke kantor-kantor bea cukai khususnya yang terkait dengan masalah pemungutan cukai.
Namun dikarenakan waktu yang mendesak dan untuk mempercepat pelaksanaan sosialisasi maka Kantor Pusat mengundang semua kantor yang terkait dengan cukai untuk mengikuti sosialisasi. Diharapkan selanjutnya perwakilan yang telah mengikuti sosialisasi dapat memberikan ilmunya kepada pegawai-pegawai di daerah, untuk memberitahukan apa saja yang harus pegawai lakukan dalam rangka memperlancar peraturan menteri tersebut.
Karena itu, lanjut Frans, pegawai harus memahami isi dari PMK 203. Disamping itu juga, dalam rangka pelaksanaan PMK tadi terdapat Peraturan Dirjen No. 35 dan peraturan yang mengikutinya yaitu surat edaran dirjen. Peraturan-peraturan inilah yang akan disosialisasikan, agar aparat di lapangan memahami permasalahannya. “Bagaimana mengenai pita cukainya, apa yang harus dilakukan kepala kantor untuk mengantisisipasinya, baik dari sisi pelayanan pita cukai maupun melayani pertanyaan-pertanyaan dari pabrik rokok yang nantinya akan datang ke kantor-kantor pelayanan.”
Kalau pada tahun 2008, lanjut Frans, masih diberlakukan dua jenis tarif, yaitu advalorum dan spesifik, maka untuk tahun 2009 tidak ada lagi tarif advolurum melainkan hanya diberlakukan tarif spesifik untuk semua jenis tembakau. “Ini merupakan salah satu kebijakan yang sangat mendasar untuk tahun 2009,” ujar Frans.
Disamping itu ada beberapa kebijakan dan perubahan yang terjadi di bidang cukai antara lain, jika pada tahun sebelumnya masih ada insentif untuk ekspor hasil tembakau,tahun 2009 insentif itu hilang. Kemudian terjadi penyederhanaan golongan. Untuk Sigaret Kretek Mesin (SKM) yang sebelumnya terbagi menjadi golongan I, II dan III kini tinggal dua golongan yaitu golongan I dan II saja.Begitu juga untuk Sigaret Putih Mesin (SPM)tinggal 2 golongan, yaitu I dan II.
“Namun penyederhanaan golongan tidak berlaku bagi sigaret kretek tangan (SKT) yang tetap terbagi menjadi tiga golongan, hal ini dengan pertimbangan industrinya banyak menyerap tenaga kerja,” jelas Frans.
"Sedangkan dalam rangka pengawasan untuk merek rokok yang pernah terkena tindak pidana maka merek rokok tersebut tidak bisa digunakan selama 2 tahun. Frans mencontohkan, jika suatu merek ditemukan di peredaran ternyata telah melanggar ketentuan cukai, misalnya menggunakan pita cukai yang bukan peruntukkannya atau tidak menggunakan pita cukai, maka yang terkena sanksi hukum bukan hanya orangnya (pemiliknya) saja tetapi mereknya juga tidak boleh beredar untuk sementara waktu selama dua tahun".
"Kami tidak menutup mata, setiap kebijakan baru selalu menimbulkan protes atau komentar khususnya dari produsen hasil tembakau dan itu merupakan suatu bentuk respon. Tugas kami menyampaikan secara penuh supaya tidak terjadi salah persepsi. Diakui memang ada kenaikan tariff tetapi tidak secara drastis. Ada beberapa pabrik tertentu naik golongan, dari golongan II ke III, hal itu harus dilakukan dalam rangka roadmap industri hasil tembakau,” imbuh Frans

Sosialisasi Tarif Cukai Spesifik



Sosialisasi Kenaikan HJE Dan Tarif Spesifik Cukai Hasil Tembakau

18-12-2006admin (Sumber: wbc)



DJBC, Di Indonesia saat ini, konsumsi rokok oleh masyarakatnya cukup tinggi, bahkan menurut WHO, Indonesia dengan jumlah jiwa sebanyak 200 juta lebih, diperkirakan sekitar 141 jiwanya adalah pengkonsumsi rokok aktif yang menghabiskan sekitar 215 milyar batang per tahunnya (Media Indonesia 11 Desember 2006).
Industri rokok memang menjadi salah satu tulang punggung baik penerimaan negara maupun penyerapan tenaga kerja. Dapat dibayangkan dengan jumlah pabrik rokok yang saat ini telah mencapai 4416 pabrik ( golongan I: 6 pabrik, golongan II: 27 pabrik, golongan III: 106 pabrik, golongan IIIA: 282 pabrik, dan sisanya adalah pabrik golongan IIIB) tentunya jumlah tenaga kerja yang diserap pun juga telah mencapai jutaan orang.
Itu dari sisi penyerapan tenaga kerja, dari sisi penerimaan negara atau yang dikenal dengan cukai hasil tembakau, rokok boleh dikatakan menjadi andalan bagi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) yang tiap tahunnya selalu mengalami kenaikan bahkan melampaui dari target yang ditentukan. Untuk tahun 2006 target yang ditetapkan APBN-P sebesar Rp 38,5 triliun dan ditahun 2007 ini target cukai juga telah ditentukan dan dinaikan menjadi Rp 42,03 triliun.

Jenis Rokok Dan Golongan Pabrik
Dengan jumlah 4416 pabrik rokok memang bukan suatu hal yang mudah untuk melakukan pengawasan dan pembinaannya. Dari jumlah tersebut, produksi rokok pun dibagi menjadi beberapa jenis seperti sigaret kretek mesin (SKM), sigaret putih mesin (SPM), sigaret kretek tangan (SKT), sigaret putih tangan (SPT) sigaret kelembak tangan (KLM), cerutu (CRT), rokok daun atau klobot (KLB), tembakau iris (TIS), dan hasil pengolahan tembakau lainnya (HPTL) (pasal 4 Undang-Undang Nomor 11 tahun 1995 tentang Cukai dan pasal 1 PMK no.43/PMK.04/2005)
Dari pembagian jenis rokok tersebut, maka pabrik rokok pun juga dibagi menjadi beberapa golongan, yaitu golongan I, II, III, dan IIIA,B. Untuk masing-masing golongan ini, penetapannya telah ditentukan oleh Menteri Keuangan sebagaimana yang dituangkan dalam PMK No.43/PMK.04/2005 pasal 2, yaitu pengusaha pabrik hasil tembakau dikelompokan ke dalam golongan pengusaha berdasarkan jenis hasil tembakau yang diproduksinya, sesuai dengan batasan produksi pabrik.
Untuk SKM golongan I batasan produksi lebih dari 2 milyar batang, golongan II lebih dari 500 juta batang tetapi tidak lebih dari 2 milyar batang, dan golongan III tidak lebih dari 500 juta batang. Untuk SPM, golongan I lebih dari 2 milyar batang, golongan II lebih dari 500 juta batang tetapi tidak lebih dari 2 milyar batang, dan golongan III tidak lebih dari 500 juta batang. Untuk SKT, golongan I lebih dari 2 milyar batang, golongan II lebih dari 500 juta batang tetapi tidak lebih 2 milyar batang, golongan IIIA lebih dari 6 juta batang tetapi tidak lebih dari 500 juta batang, dan golongan IIIB tidak lebih dari 6 juta batang.
Untuk KLM, KLM atau SPT, golongan I lebih dari 6 juta batang, dan golongan II tidak lebih dari 6 juta batang. Untuk TIS, golongan I lebih dari 2 milyar gram, golongan II lebih dari 500 gram tetapi tidak lebih dari 2 milyar gram, golongan IIIA lebih dari 50 juta gram tetapi tidak lebih dari 500 juta gram, dan golongan IIIB tidak lebih dari 50 juta gram. Untuk CRT, tanpa golongan tanpa batas produksi. Sedangkan untuk HPTL tanpa golongan tanpa batasan produksi.

Sosialisasi Kebijakan Cukai
Pada Desember 2006 lalu, pemerintah melalui Menteri Keuangan telah menetapkan kebijakan baru di bidang cukai hasil tembakau terkait dengan HJE. Kebijakan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.04/2006 tentang perubahan kedua atas peraturan Menteri Keuangan Nomor 43/PMK.04/2005 tentang penetapan harga dasar dan tarif cukai hasil tembakau.
Dalam kebijakan baru tersebut juga dijelaskan, bahwa untuk tahun 2007 khususnya pada bulan Maret seluruh hasil tembakau yang penetapan HJE-nya masih berlaku dinaikan HJE-nya 7 persen, dan pada bulan Juli 2007 untuk jenis SKM, SKT, dan SPM dinaikan beban cukai perbatang (cukai spesifik), golongan I Rp 7, golongan II Rp 5, dan golongan III Rp 3. Sedangkan jenis hasil tembakau lainnya seperti TIS, KLB, KLM, CRT, dan HPTL tidak dikenakan.
Kenaikan HJE dan penerapan cukai spesifik ini tentunya tidak terlepas dari target penerimaan cukai yang tahun 2007 ini dinaikan. Jika pada tahun-tahun sebelumnya beban penerimaan cukai selalu terlampaui, untuk tahun 2006 target penerimaan cukai tidak dapat tercapai karena besaran asumsi produksi rokok dan APBN-P 2006 tidak tercapai.
Terkait dengan kebijakan tersebut, maka pada 4 Desember 2006 lalu, Direktorat Cukai menyelenggarakan sosialisasi tentang kebijakan cukai tahun 2007 khususnya kenaikan HJE dan cukai spesifik di tahun 2007. Acara dibuka oleh Direktur Penerimaan dan Peraturan Kepabeanan dan Cukai (PPKC), Drs. Wahyu Purnomo, yang dalam kata sambutannya menjelaskan bahwa penetapan beban cukai yang saat ini telah ditentukan, pada awalnya DJBC merasa keberatan karena untuk mencapai angka tersebut sangatlah sulit mengingat pada tahun 2006 saja dari angka yang telah ditetapkan tidak dapat terpenuhi.
Sementara itu, penjelasan terkait alasan pemerintah menetapkan kenaikan HJE dan cukai spesifik, disampaikan oleh Direktur Cukai, Frans Rupang, dalam acara sosialisasi yang juga di hadiri oleh seluruh kepala KPBC yang melayani kegiatan cukai, Kepala Bidang Kepabeanan dan Cukai, dan Seksi Cukai.
Dalam kata sambutannya Frans Rupang menjelaskan, target penerimaan cukai dalam RAPBN tahun 2007 ditetapkan sebesar Rp 42,03 triliun dengan estimasi penerimaan cukai tahun 2006 diperkirakan Rp 37,4 triliun dari 38,6 triliun dalam APBN-P. Dengan hanya mengandalkan pertumbuhan produksi hasil tembakau 218 milyar menjadi 232 milyar batang, penerimaan cukai 2007 diperkirakan hanya akan mencapai Rp 40,8 triliun (97 persen dari target). Sehingga untuk mencapai target tahun 2007 diperlukan ekstra effort dan kebijakan khusus.
“Saat ini penetapan HJE hasil tembakau menggunakan metode advalorum yang sebenarnya juga memiliki kelebihan dan kekurangannya. Untuk kelebihannya, metode ini sesuai untuk sektor tembakau Indonesia yang heterogen, adil pembebanannya karena pabrik besar dikenakan tarif tinggi sedangkan pabrik kecil dikenakan tarif rendah, memberi kesempatan berusaha bagi industri kecil, dan dapat menghindari monopoli di sektor industri hasil tembakau,” jelas Frans Rupang.
Lebih lanjut Frans Rupang menjelaskan, untuk kelemahan pada sistem advalorum adalah pemerintah mendistorsi pasar dengan menetapkan HJE, pemungutan dan pengawasannya kompleks meliputi, pengawasan tarif, HJE, golongan, jenis hasil tembakau, kemasan, dan alat kontrol pita cukai. Kelemahan lainnya, penggunaan variabel HJE sebagai instrumen utama membuat gap harga transaksi pasar (HTP) dengan HJE semakin jauh, kesenjangan beban cukai antar golongan semakin jauh, dan dalam hal kenaikan HJE berbentuk prosentase akan membuat gap HJE antar jenis hasil tembakau semakin jauh.

Tarif Spesifik
Sementara itu untuk tarif spesifik yang juga memiliki kelebihan dan kelemahan, Frans Rupang menjelaskan, untuk kelebihannya dengan tarif spesifik ini pemerintah tidak perlu menetapkan harga dasar (cukup mengatur besaran cukai dan satuan BKC yang digunakan per batang, per gram, per kadar, atau per kemasan). Lebih mudah dalam pemungutan (administrasi) dan pengawasan, pemerintah tidak mendistorsi pasar, mendorong industri kecil untuk meningkatkan daya saing, dan sangat tepat untuk menjalankan fungsi pengaturan (pembatasan konsumsi) karena beban cukainya sama.
Sedangkan kekurangan dengan pengenaan tarif spesifik ini, tidak adil pabrik besar dan kecil beban cukainya sama, jika besaran tarif sama untuk semua golongan akan mendorong oligopoli, dan belum sesuai untuk industri tembakau di Indonesia yang heterogen dan banyak jumlahnya.
Menurut Kepala Seksi Analisis Tarif Harga dan Produksi Cukai Hasil Tembakau, Sunaryo, latar belakang timbulnya cukai spesifik ini lebih dikarenakan adanya gap antara HTP dengan HJE, adanya gap nominal HJE antar golongan dan jenis yang sangat tinggi. Dan sebagai entry point untuk kebijakan cukai jangka panjang, serta untuk kepentingan penerimaan negara, dan meringankan beban PPN pengusaha akibat kebijakan cukai. Untuk itu maka dibuatlah alternatif kebijakan dengan mempertimbangkan aspek legal, fakta real, dan aspek penerimaan cukai tahun 2007, yang pada akhirnya menetapkan penggunaan sistem tarif cukai yang mengkombinasikan sistem advalorum dan spesifik (tarif gabungan)
“Dengan tarif gabungan ini maka kita memiliki beberapa kelebihan, diantaranya HJE tidak berubah, mendorong HTP naik, membuat persaingan yang fair di lapangan karena yang menentukan HTP pasar, mendorong pabrik kecil untuk meningkatkan daya saing, mengurangi kecenderungan mendirikan pabrik dengan motif menjual pita cukai, dan tidak mengubah desain pita cukai,” jelas Sunaryo
Lebih lanjut Sunaryo menjelaskan, untuk pengawasan yang dilakukan dengan tarif gabungan ini tidak akan berbeda dengan yang telah dijalankan sebelumnya karena masih ada pita cukai. Selain itu DJBC saat ini juga telah menjalankan enam langkah pengawasan khusus untuk cukai, diantaranya dengan operasi pasar secara terbuka (terpadu), operasi intelijen, pemanfaatan data teknis dan data lapangan, sosialisasi kepada masyarakat, sosialisasi kepada instansi pemerintah, dan personalisasi.
Namun upaya-upaya tersebut juga masih mengalami kendala-kendala, diantaranya keterbatasan SDM, regulasi pemerintah daerah yang memberikan kemudahan izin pabrik, koordinasi intansi terkait (terutama di daerah), hukuman yang kurang memberikan efek jera, investasi (industri HT) yang sangat murah, dan aspek sosial masyarakat. “Kalau saat ini ramai diberitakan penolakan oleh asosiasi pengusaha rokok, hal itu karena tidak ada pabrik rokok yang mau beban pungutan cukai naik tiap tahun. Namun khusus untuk penolakan cukai spesifik lebih disebabkan karena akan merubah peta persaingan di pasar dan ketakutan akan adanya tarif cukai spesifik murni,” tandas Sunaryo. ADI