Rabu, 04 Februari 2009

Sosialisasi Tarif Cukai Spesifik



Sosialisasi Kenaikan HJE Dan Tarif Spesifik Cukai Hasil Tembakau

18-12-2006admin (Sumber: wbc)



DJBC, Di Indonesia saat ini, konsumsi rokok oleh masyarakatnya cukup tinggi, bahkan menurut WHO, Indonesia dengan jumlah jiwa sebanyak 200 juta lebih, diperkirakan sekitar 141 jiwanya adalah pengkonsumsi rokok aktif yang menghabiskan sekitar 215 milyar batang per tahunnya (Media Indonesia 11 Desember 2006).
Industri rokok memang menjadi salah satu tulang punggung baik penerimaan negara maupun penyerapan tenaga kerja. Dapat dibayangkan dengan jumlah pabrik rokok yang saat ini telah mencapai 4416 pabrik ( golongan I: 6 pabrik, golongan II: 27 pabrik, golongan III: 106 pabrik, golongan IIIA: 282 pabrik, dan sisanya adalah pabrik golongan IIIB) tentunya jumlah tenaga kerja yang diserap pun juga telah mencapai jutaan orang.
Itu dari sisi penyerapan tenaga kerja, dari sisi penerimaan negara atau yang dikenal dengan cukai hasil tembakau, rokok boleh dikatakan menjadi andalan bagi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) yang tiap tahunnya selalu mengalami kenaikan bahkan melampaui dari target yang ditentukan. Untuk tahun 2006 target yang ditetapkan APBN-P sebesar Rp 38,5 triliun dan ditahun 2007 ini target cukai juga telah ditentukan dan dinaikan menjadi Rp 42,03 triliun.

Jenis Rokok Dan Golongan Pabrik
Dengan jumlah 4416 pabrik rokok memang bukan suatu hal yang mudah untuk melakukan pengawasan dan pembinaannya. Dari jumlah tersebut, produksi rokok pun dibagi menjadi beberapa jenis seperti sigaret kretek mesin (SKM), sigaret putih mesin (SPM), sigaret kretek tangan (SKT), sigaret putih tangan (SPT) sigaret kelembak tangan (KLM), cerutu (CRT), rokok daun atau klobot (KLB), tembakau iris (TIS), dan hasil pengolahan tembakau lainnya (HPTL) (pasal 4 Undang-Undang Nomor 11 tahun 1995 tentang Cukai dan pasal 1 PMK no.43/PMK.04/2005)
Dari pembagian jenis rokok tersebut, maka pabrik rokok pun juga dibagi menjadi beberapa golongan, yaitu golongan I, II, III, dan IIIA,B. Untuk masing-masing golongan ini, penetapannya telah ditentukan oleh Menteri Keuangan sebagaimana yang dituangkan dalam PMK No.43/PMK.04/2005 pasal 2, yaitu pengusaha pabrik hasil tembakau dikelompokan ke dalam golongan pengusaha berdasarkan jenis hasil tembakau yang diproduksinya, sesuai dengan batasan produksi pabrik.
Untuk SKM golongan I batasan produksi lebih dari 2 milyar batang, golongan II lebih dari 500 juta batang tetapi tidak lebih dari 2 milyar batang, dan golongan III tidak lebih dari 500 juta batang. Untuk SPM, golongan I lebih dari 2 milyar batang, golongan II lebih dari 500 juta batang tetapi tidak lebih dari 2 milyar batang, dan golongan III tidak lebih dari 500 juta batang. Untuk SKT, golongan I lebih dari 2 milyar batang, golongan II lebih dari 500 juta batang tetapi tidak lebih 2 milyar batang, golongan IIIA lebih dari 6 juta batang tetapi tidak lebih dari 500 juta batang, dan golongan IIIB tidak lebih dari 6 juta batang.
Untuk KLM, KLM atau SPT, golongan I lebih dari 6 juta batang, dan golongan II tidak lebih dari 6 juta batang. Untuk TIS, golongan I lebih dari 2 milyar gram, golongan II lebih dari 500 gram tetapi tidak lebih dari 2 milyar gram, golongan IIIA lebih dari 50 juta gram tetapi tidak lebih dari 500 juta gram, dan golongan IIIB tidak lebih dari 50 juta gram. Untuk CRT, tanpa golongan tanpa batas produksi. Sedangkan untuk HPTL tanpa golongan tanpa batasan produksi.

Sosialisasi Kebijakan Cukai
Pada Desember 2006 lalu, pemerintah melalui Menteri Keuangan telah menetapkan kebijakan baru di bidang cukai hasil tembakau terkait dengan HJE. Kebijakan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.04/2006 tentang perubahan kedua atas peraturan Menteri Keuangan Nomor 43/PMK.04/2005 tentang penetapan harga dasar dan tarif cukai hasil tembakau.
Dalam kebijakan baru tersebut juga dijelaskan, bahwa untuk tahun 2007 khususnya pada bulan Maret seluruh hasil tembakau yang penetapan HJE-nya masih berlaku dinaikan HJE-nya 7 persen, dan pada bulan Juli 2007 untuk jenis SKM, SKT, dan SPM dinaikan beban cukai perbatang (cukai spesifik), golongan I Rp 7, golongan II Rp 5, dan golongan III Rp 3. Sedangkan jenis hasil tembakau lainnya seperti TIS, KLB, KLM, CRT, dan HPTL tidak dikenakan.
Kenaikan HJE dan penerapan cukai spesifik ini tentunya tidak terlepas dari target penerimaan cukai yang tahun 2007 ini dinaikan. Jika pada tahun-tahun sebelumnya beban penerimaan cukai selalu terlampaui, untuk tahun 2006 target penerimaan cukai tidak dapat tercapai karena besaran asumsi produksi rokok dan APBN-P 2006 tidak tercapai.
Terkait dengan kebijakan tersebut, maka pada 4 Desember 2006 lalu, Direktorat Cukai menyelenggarakan sosialisasi tentang kebijakan cukai tahun 2007 khususnya kenaikan HJE dan cukai spesifik di tahun 2007. Acara dibuka oleh Direktur Penerimaan dan Peraturan Kepabeanan dan Cukai (PPKC), Drs. Wahyu Purnomo, yang dalam kata sambutannya menjelaskan bahwa penetapan beban cukai yang saat ini telah ditentukan, pada awalnya DJBC merasa keberatan karena untuk mencapai angka tersebut sangatlah sulit mengingat pada tahun 2006 saja dari angka yang telah ditetapkan tidak dapat terpenuhi.
Sementara itu, penjelasan terkait alasan pemerintah menetapkan kenaikan HJE dan cukai spesifik, disampaikan oleh Direktur Cukai, Frans Rupang, dalam acara sosialisasi yang juga di hadiri oleh seluruh kepala KPBC yang melayani kegiatan cukai, Kepala Bidang Kepabeanan dan Cukai, dan Seksi Cukai.
Dalam kata sambutannya Frans Rupang menjelaskan, target penerimaan cukai dalam RAPBN tahun 2007 ditetapkan sebesar Rp 42,03 triliun dengan estimasi penerimaan cukai tahun 2006 diperkirakan Rp 37,4 triliun dari 38,6 triliun dalam APBN-P. Dengan hanya mengandalkan pertumbuhan produksi hasil tembakau 218 milyar menjadi 232 milyar batang, penerimaan cukai 2007 diperkirakan hanya akan mencapai Rp 40,8 triliun (97 persen dari target). Sehingga untuk mencapai target tahun 2007 diperlukan ekstra effort dan kebijakan khusus.
“Saat ini penetapan HJE hasil tembakau menggunakan metode advalorum yang sebenarnya juga memiliki kelebihan dan kekurangannya. Untuk kelebihannya, metode ini sesuai untuk sektor tembakau Indonesia yang heterogen, adil pembebanannya karena pabrik besar dikenakan tarif tinggi sedangkan pabrik kecil dikenakan tarif rendah, memberi kesempatan berusaha bagi industri kecil, dan dapat menghindari monopoli di sektor industri hasil tembakau,” jelas Frans Rupang.
Lebih lanjut Frans Rupang menjelaskan, untuk kelemahan pada sistem advalorum adalah pemerintah mendistorsi pasar dengan menetapkan HJE, pemungutan dan pengawasannya kompleks meliputi, pengawasan tarif, HJE, golongan, jenis hasil tembakau, kemasan, dan alat kontrol pita cukai. Kelemahan lainnya, penggunaan variabel HJE sebagai instrumen utama membuat gap harga transaksi pasar (HTP) dengan HJE semakin jauh, kesenjangan beban cukai antar golongan semakin jauh, dan dalam hal kenaikan HJE berbentuk prosentase akan membuat gap HJE antar jenis hasil tembakau semakin jauh.

Tarif Spesifik
Sementara itu untuk tarif spesifik yang juga memiliki kelebihan dan kelemahan, Frans Rupang menjelaskan, untuk kelebihannya dengan tarif spesifik ini pemerintah tidak perlu menetapkan harga dasar (cukup mengatur besaran cukai dan satuan BKC yang digunakan per batang, per gram, per kadar, atau per kemasan). Lebih mudah dalam pemungutan (administrasi) dan pengawasan, pemerintah tidak mendistorsi pasar, mendorong industri kecil untuk meningkatkan daya saing, dan sangat tepat untuk menjalankan fungsi pengaturan (pembatasan konsumsi) karena beban cukainya sama.
Sedangkan kekurangan dengan pengenaan tarif spesifik ini, tidak adil pabrik besar dan kecil beban cukainya sama, jika besaran tarif sama untuk semua golongan akan mendorong oligopoli, dan belum sesuai untuk industri tembakau di Indonesia yang heterogen dan banyak jumlahnya.
Menurut Kepala Seksi Analisis Tarif Harga dan Produksi Cukai Hasil Tembakau, Sunaryo, latar belakang timbulnya cukai spesifik ini lebih dikarenakan adanya gap antara HTP dengan HJE, adanya gap nominal HJE antar golongan dan jenis yang sangat tinggi. Dan sebagai entry point untuk kebijakan cukai jangka panjang, serta untuk kepentingan penerimaan negara, dan meringankan beban PPN pengusaha akibat kebijakan cukai. Untuk itu maka dibuatlah alternatif kebijakan dengan mempertimbangkan aspek legal, fakta real, dan aspek penerimaan cukai tahun 2007, yang pada akhirnya menetapkan penggunaan sistem tarif cukai yang mengkombinasikan sistem advalorum dan spesifik (tarif gabungan)
“Dengan tarif gabungan ini maka kita memiliki beberapa kelebihan, diantaranya HJE tidak berubah, mendorong HTP naik, membuat persaingan yang fair di lapangan karena yang menentukan HTP pasar, mendorong pabrik kecil untuk meningkatkan daya saing, mengurangi kecenderungan mendirikan pabrik dengan motif menjual pita cukai, dan tidak mengubah desain pita cukai,” jelas Sunaryo
Lebih lanjut Sunaryo menjelaskan, untuk pengawasan yang dilakukan dengan tarif gabungan ini tidak akan berbeda dengan yang telah dijalankan sebelumnya karena masih ada pita cukai. Selain itu DJBC saat ini juga telah menjalankan enam langkah pengawasan khusus untuk cukai, diantaranya dengan operasi pasar secara terbuka (terpadu), operasi intelijen, pemanfaatan data teknis dan data lapangan, sosialisasi kepada masyarakat, sosialisasi kepada instansi pemerintah, dan personalisasi.
Namun upaya-upaya tersebut juga masih mengalami kendala-kendala, diantaranya keterbatasan SDM, regulasi pemerintah daerah yang memberikan kemudahan izin pabrik, koordinasi intansi terkait (terutama di daerah), hukuman yang kurang memberikan efek jera, investasi (industri HT) yang sangat murah, dan aspek sosial masyarakat. “Kalau saat ini ramai diberitakan penolakan oleh asosiasi pengusaha rokok, hal itu karena tidak ada pabrik rokok yang mau beban pungutan cukai naik tiap tahun. Namun khusus untuk penolakan cukai spesifik lebih disebabkan karena akan merubah peta persaingan di pasar dan ketakutan akan adanya tarif cukai spesifik murni,” tandas Sunaryo. ADI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar