Rabu, 04 Februari 2009


KONTRITBUSI DAN REFLEKSI TARGET CUKAI
Oleh : Sunaryo *
(Tulisan ini telah di publish di majalah Warta Bea dan Cukai Tahun 2003)



Semakin tidak ideal kondisi ataupun situasi di sebuah negara, makin susah produksi hukum diterapkan! Karenanya para ahli dalam berbagai bidang disiplin ilmu senantiasa menetapkan asumsi-asumsi agar teorinya/formula dapat diterapkan dalam praktik. Dalam bidang ekonomi kita sangat hafal istilah ceteris paribus. Dalam bidang matematika dan fisika kita tahu istilah variabel konstan. Dan dengan adanya asumsi tersebut formula regresi, statistik, demand suplay, elastsitas dan sejenisnya dapat diterapkan dan kita pun terkagum kagum dengan output formula tersebut.Padahal kalau kita sadar: itu hanya di “angan-angan” yang diback up dengan asumsi-asumsi.Dan di dunia realsangat susah dipenuhi, bahkan mustahil
Maaf, pembaca jangan tekecoh dengan “tulisan miring” di atas. Uraian tersebut bukanlah keluar dari mulut intelektual ataupun pakar. Itu muncul dari benak penulis yang nyembul automatically ketika tulisan ini dibuat. Namun demikian, penulis yakin jika pembaca berefleksi atas segenap fenomena hukum di negeri ini, maka akan berpendapat sama dengan penulis. Kondisi sosial dan ekonomi di negeri ini yang “tidak ideal”membuat produk hukum –undang-undang, terkadang tidak berjalan sesuai maksud dengan tujuan undang undang itu sendiri. Contoh yang paling kongkrit adalah tentang percukaian kita. Pasal 1 Undang-Undang nomor 11 tahun 1995 tentang Cukai dengan tegas mendefinisikan bahwa,”Cukai adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang- barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik yang ditetapkan dalam Undang-undang ini. “
Diperjelas dalam pasal 2 ayat (1) ,”Yang dimaksud dengan barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik yang ditetapkan adalah barang-barang yang dalam pemakaiannya, antara lain, perlu dibatasi atau diawasi”
Walaupun dalam Pasal 2 ayat (1) tersebut menggunakan kata “antara lain”-yang berarti masih memungkinkan untuk diperluas obyeknya, yang jelas dari obyek cukai saat ini yang dipungut Bea dan Cukai –Tembakau, Minuman Mengandung Etil Alkohol, dan Etil Alkohol, memiliki prinsip sama : untuk dibatasi dan di awasi. Dengan kata lain, dengan prioritas pengenaan untuk membatasi dan mengawasi, maka persoalan penerimaan dan target adalah nomor dua, bahkan bisa nomor sekian.
Dan sekali lagi, sebagaimana penulis sampaikan pada paragraf pertama tulisan ini, karena kondisi sosial ekonomi negeri ini belum “ideal” maka tujuan utama undang-undang cukai pun agak dikesampingkan. Dan ironinya setiap ada rapat-rapat yang ditanyakan juga masalah pencapaian target dan kontribusi cukai. Sepertinya tidak pernah ada sejarah rapat yang membicarakan : Berapa jumlah orang kena stroke akibat rokok. Berapa jumlah yang kangker paru-paru akibat rokok, berapa yang “burungnya” jadi impontent akibat kebanyakan merokok. Juga tidak pernah ada rapat yang sengaja merayakan “sukur alhamdulillah” akibat produksi rokok turun. Padahal logikannya, justru acara tersebut selayaknya dirayakan: produksi rokok turun, konsumsi turun, masyarakat sehat.
Kesimpulannya, saat ini percukaian kita –sebenarnya- tidak berjalah “direl” yang digariskan. Aspek penerimaan lebih dikedepankan ketimbang latar belakang pengenannya. Sehingga jika semata-mata ditinjau dari aspek budget, kinerja DJBC dalam mencapai target relatif berhasil. (Grafik 1.)
GRAFIK TARGET DAN REALISASI CUKAI
TAHUN 1994 – 2002
Ada beberapa hal yang dapat dapat dipetik dari grafik target dan realisasi cukai di atas. Pertama, terjadi peningkatan target cukai yang tajam dari tahun ke tahun. Secara average, maka sepanjang tahun 1994 – 2002 target cukai meningkat 30,05% setiap tahunnya. Peningkatan paling ekstrim terjadi tahun anggaran 1997/1998 ke 1998/1999 yaitu 74,83% (dari Rp 4,44 trilun ke Rp 7,76 triliun), disusul kemudian tahun anggaran 2000 ke 2001 yaitu sebesar 71,56% (dari Rp 10,27 trilun ke Rp 17,36 triliun).
Kedua, secara umum setiap target cukai yang dibebankan ke DJBC senantiasa tercapai. Bahkan untuk tahun anggaran 2001 ke 2002 terjadi surplus hampir Rp 1 triliun. Dan secara keseluruhan sepanjang tahun 1994 – 2002 realisasi penerimaan cukai surplus 5%.
Ketiga, jika dilihat dari kontribusinya terhadap penerimaaan perpajakan, kontribusi cukai juga terus meningkat. Tahun 1994 dari total penerimaan perpajakan Rp 36 triliun, cukai menyumbang Rp 3,15 triliun atau 8,6%, sedangkan tahun 2002 dari total penerimaan perpajakan Rp 219,6 triliun, kontribusi cukai Rp 23,3 triliun atau 10,6%.
Dengan melihat trend penerimaan dan kontribusi cukai, sepertinya sebuah fenomena yang sangat menggembirakan: target senantiasa tercapai dan kontribusi terhadap perpajakan juga meningkat. Akan tetapi jika dilihat dari sisi yang lain, jika melihat perkembangan produksi hasil tembakau akan nampak bahwa sektor sebenarnya telah “kewalahan” memanggul beban target APBN yang senantiasa naik dari tahun ke tahun. Tahun 2000 produksi hasil tembakau mencapai 235 miliar batang, tahun 2001 turun menjadi 231 miliar batang, dan tahun 2002 hanya 210 miliar batang. Dan sangat besar kemungkinan tahun sekarang dan kedepan juga akan terjadi penurunan produksi. Dan sangat mungkin jika penurunan produksi hingga mencapai dibawah dari yang di asumsikan dalam pencapaian target, target APBN pun kemungkinan besar tidak tercapai.
Satu hal yang akan ditanyakan berbagai pihak kepada DJBC adalah,”Berarti DJBC gagal dalam mengelola target cukai?”
Jika diasumsikan metodologi penetapan target cukai didasarkan atas kondisi real tahun 2002 -HJE di pasaran telah + 25 % dibawah banderol, trend produksi cenderung turun, elastisitas hasil tembakau telah negatif, maka boleh di-klaim jika DJBC gagal dalam mencapai target. Akan tetapi jika besarnya target APBN didasarkan pada semata-mata besaran makro ekonomi –PDB, inflasi, Tax Ratio negara lain, penulis ragu menjustifikasi kesalahan pencapaian target ada di DJBC.
Penulis masih terngiang-ngiang sebuah estimasi yang sangat hiperbolik tentang target cukai tahun 2003,”Tanpa kebijakan tarif dan harga dasar hasil tembakau, penerimaan cukai tahun 2003 dapat mencapai Rp 29 triliun!” Sampai sekarang pun, penulis tidak menemukan metodologi perhitungan cukai hingga mencapai angka sebagaimana disebutkan diatas: Kecuali kita masa bodoh dengan nasib pabrik menengah dan kecil yang jumlahnya 1.000 pabrik lebih.
Saat ini yang terpenting adalah menyamakan visi tentang cukai itu sendiri. Ok, memang untuk kembali absolutly ke filosofi cukai yang berlaku saat ini –untuk membatasi dan mengawasi rasanya tak mungkin. Bentangan hambatan tentu “menganga” karena negara kita masih sangat butuh “injeksi” dari cukai, terlebih setelah lepas dari IMF. Namun kita juga sewajarnya untuk memberi “nafas” barang sebentar ke sektor tembakau dalam beberapa tempo. Dan target APBN yang ditetapkan tahun depan, juga sewajarnya memberi “nafas” kepada sektor yang –sebernanya- masih terluka. Semoga.

* Penulis adalah staf Direktorat Cukai, DJBC.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar