Kamis, 05 Februari 2009


“HOT- HOT CHIKEN’S FECES”
Oleh : Sunaryo
(tulisan ini telah di publikasi Majalah Warta Bea dan Cukai)

Penulis mempersilahkan pembaca untuk menertawai judul tersebut. Tertawa mengejek lantaran dalam perespektif grammar amburadul, atau tertawa lucu lantaran ungkapan itu tak lazim dalam Bahasa Inggris sebagaimana halal bil halal di Arab Saudi. Yang jelas lantaran banyak fenomena di Nusantara ini yang klop dengan ungkapan-”Hangat-hangat tahi ayam”, penulis terpaksa memakai judul tersebut. Toh dalam bahasa tak ada kebenaran mutlaq. Yang ada hanya lazim dan tak lazim dengan kaidah bahasa yang disepakati. Jadi sah-sah saja kalau penulis memakainya kan? Apalagi jaman demokrasi. Yang “ngomong ngawur” saja diblow up media dan diberitakan, apalagi yang ada dasarnya! Dan penulis mempersilahkan pembaca untuk tidak setuju-apalagi setuju dengan ke-shahihan judul itu, termasuk apa yang akan penulis ungkap di Media ini. Karena-sekali lagi, “Ini Demokrasi bung!”. Toh, maksud tulisan ini bukan argumentatif semata, walaupun ada bumbu Statistika. Penulis hanya sekedar gendu-gendu rasa dengan sesama Bea Cukai di “gardu” Warta Bea Cukai ini.
Setelah terjadi ledakan bom di Hotel Marriot -sering diplesetkan “Bom Ma’ Erot”, gedung-gedung perkantoran seantero Indonesia membuat kebijakan super ketat dengan memeriksa setiap mobil yang keluar masuk karena khawatir tragedi Bom Marrriot terulang. Setelah lewat tragedi itu kurang lebih sebulan atau dua bulan, pengamanan pun kembali seperti sedia kala:”landai-landai saja!”
Ketika heboh pe-“ndangdut” asal Pasuruan, Inul Daratista, ruang angkasa Indonesia dipenuhi berita sang “Ratu Ngebor”. Pakar hukum menyoroti persoalan legalnya dan muncul pro dan kontra persoalan pornografi, hak asasi, dan berekspresi yang dibatasi. Bagi seorang marketing, fenomena Inul ditelaah di forum, seminar, talk show, dan dengan media tersebut “berterbanganlah” ditelinga kita istilah differensiasi, segmentasi, spesialisasi, dan “sasi-sasi” yang lain. Sekali lagi, “Itu bertahan paling lama dua bulan”. Setelah itu?, “landai-landai saja!”
Harus diakui bahwa kebiasaan “hangat-hangat tahi ayam” adalah satu dari sekian ciri bangsa ini. Monggo pembaca untuk me-review kasus-kasus politik, ekonomi, budaya dan sosial yang telah lewat. Ramai diawal muncul, selesainya tidak ketahuan, atau bahkan hilang ditelan ramainya kasus lain. Dan sebagai bagian dari elemen bangsa ini, institusi-institusi pemerintahan (termasuk DJBC), dalam setiap kebijakannya sering mengalami hal serupa: “hanya menggebu-gebu di awal kebijakan.”
Penulis ingat betul ketika Undang-undang Nomor 10 dan 11 Tahun 1995 (sekaligus kembalinya wewenang DJBC untuk memeriksa fisik barang diatas USD $ 5.000) akan diberlakukan. Semua aparat DJBC sibuk bersiap diri untuk show up bahwa DJBC mampu mengemban amanat masyarakat. Begitu antusiasnya sampai-sampai diberlakukanlah Apel Pagi Sore setiap hari (militer saja tidak demikian). Jika sebelumnya di kantor pusat mengenal dua macam apel: Apel Pusat dan Apel Direktorat, yang pelaksanaanya paling banyak sebulan empat kali, dengan kebijakan baru apel dilaksanakan saban hari. Tidak cukup dengan itu, diwajibkan juga bagi tiap direktorat untuk latihan baris berbaris seminggu sekali dihalaman kantor pusat. Seminggu berturut-turut dihalaman kantor pusat, dari pukul 08.00 sampai 10.00 senantiasa nampak pasukan baris berbaris. Jika saja saat itu reformasi telah bergulir, pasti ada pihak yang berkomentar,”Bea Cukai kurang kerjaan! Dua puluh lima pesen dari jam kerja habis untuk baris ngalor ngidul di lapangan!”
Lewat sebulan kebijakan apel diberlakukan, situasi kembali ke “jaman lama”: landai landai saja. Jika sebelumnya penulis hendak keluar ruangan harus mengantongi secarik kertas izin dari atasan, maka sesudahnya penulis bebas keluar masuk tanpa alasan. Apel pagi yang awalnya penuh sesak, sesudahnya sangat longgar bahkan tak jarang satu Direktorat tak satupun yang hadir. Dan situasinya : Aman-aman saja! Sama-sama maklum, sama-sama mengerti, dan sama-sama tahu diri, yang rajin monggo yang malas ya ora opo-opo. Toh tidak ada “sejarah” yang mencatat pegawai tidak naik pangkat lantaran tak pernah apel.
Begitu kebijakan apel dirubah dari setiap hari menjadi seminggu sekali, fenomenanya juga semacam, dan semakin menguatkan bahwa hot-hot chiken’s feces adalah karakter kita. Sadar bahwa beban apel ringan, bulan pertama kebijakan diberlakukan, halaman kantor pusat senantiasa penuh. Lewat dari itu, situasinya kembali : aman-aman saja!
Sekedar ingin tahu fenomena, tanggal 17 Desember 2002 penulis “iseng” untuk sekedar membandingkan laporan apel di Sekretariat dengan kehadiran peserta apel real dilapangan. Penulis mencoba menelaah dari aspek statistik. Dan semoga out put-nya dapat digunakan sebagai refleksi atas salah satu karakter kita yang sering “Hot-Hot Chiken’s Feces”.
Dalam survei tersebut kami membandingkan kehadiran apel pagi-sore antara realita sesungguhnya di lapangan dengan rekap absen apel yang diserahkan ke Sekretariat (administrasi). Penulis menelaah berdasarkan variabel: Sembilan Unit Eselon II di Kantor Pusat , Kehadiran dan Ketidakhadiran, dan Pagi-Sore sebagai variabel pelaksanaan apel.

Disiplin Pegawai Kantor Pusat “Fantastis!”
Jika pembaca menilai kedisiplinan dari hasil rekapitulasi apel pagi-sore pada Sekretariat, maka timbul perasaan kagum,”Fantastis sekali tingkat kehadiran apel pagi-sore di Kantor Pusat!”. Rata rata tingkat kehadirannya mencapai 99,68% untuk apel pagi dan 97%. Penulis haqul yaqin itu rating tertinggi jika dibandingkan dengan kedisiplinan di seluruh instansi negeri ini.
Akan tetapi sangat kontradiksi jika dibandingkan dengan realisasi sesunguhnya di lapangan. Tingkat kehadiran apel pagi-sore rata-rata hanya 19,94% untuk pelaksana, 19,45% Eselon IV, dan 12,5% Eselon III. Jika dirata-rata tingkat kehadiran hanya 17,7% : “Fantanstis” juga kan?
Jika tingkat kedisiplinan di ranking berdasarkan Sembilan Unit Eselon II di Kantor Pusat, Direktorat Kepabeanan Internasional menempati ranking tertinggi dengan point 33,3% disusul Direktorat PPKC sebesar 31,6%. Posisi terbawah ditempati Direktorat P2 dan Sekretariat dan dengan point 13,16% dan 8,20%.
Antara Pegawai Pelaksana, Eselon IV, dan Eselon III, peringkat tertinggi tingkat kehadiran apel pagi ditempati Eselon IV dengan point 19,27% disusul Pelaksana 17,68%, dan Terakhir Eselon III dengan ponit 12,50%.

Out put Inferens Statistik
Disamping mendiskripsikan data, penulis lebih jauh menguji dengan inferens statistik. Penulis menguji apakan ada perbedaan persepsi kehadiran dan ketidakhadiran antara Eselon III, Eselon IV, dan Pelaksana. Metodenya Crostab dengan Distribusi Khai Square sebagai instrumen uji. Hasilnya menunjukan bahwa antara Eselon III, Eselon IV, dan Pelaksana tidak ada perbedaan persepsi terhadap kehadiran dan ketidakhadiran apel. Dengan kata lain,”Eselon III, Eselon IV, dan Pelaksana memiliki pesepsi yang sama terhadap kehadiran dan ketidakhadiran!” Jika dikejar lebih jauh,”Kehadiran dan ketidakhadiran sama-sama penting atau sama-sama tidak penting?” Jika persepsinya sama-sama penting, kok kontradiksi dengan kenyataan di lapangan. Akan tetapi jika penulis menyimpulkan antara pejabat dan pelaksanan berpersepsi-”Sama-sama tak penting!”, takut pamali. Kalau faktanya dan datanya mendukung kesimpulan terakhir? Kembali, penulis mempersilahkan untuk menyimpulkan sendiri termasuk untuk tidak setuju-apalagi setuju dengan survei ini. Karena demokrasi berlaku juga buat siapa saja, termasuk pegawai negeri!.
Pengujian kedua menguji,”Apakah ada perbedaan jumlah significant antara apel pagi dan sore?” Instrumennya Distribusi Normal metodenya Uji Dua Rataan. Hasilnya menunjukan bahwa antara pagi dan sore tidak ada perbedaan jumlah yang significant. Kesimpulannya, jumlah peserta apel pagi dan sore cenderung sama. Jika ditarik lebih jauh,”Peserta apel pagi dan sore orangnya itu-itu juga (orang yang sama)” Dan tingkat kedisiplinan terhadap jam kerja pegawai kantor pusat juga tercermin dari jumlah peserta apel tersebut.

Saran- Saran
Dengan paparan diskriptif dan inferens di atas, sepertinya ada kesepakatan bahwa perilaku”Hot-Hot Chicken’s Feces” perlu diatasi (wabil khusus untuk penulis). Jika apel dijalankan dengan perilaku seperti itu, mungkin tidak berekses yang siginificant. Paling hanya potong TKPN, itupun yang mau jujur tidak mau absen karena memang tidak hadir. Akan tetapi jika perilaku “menggebu di awal seterusnya biasa” dijalankan pada kebijakan lain yang melibatkan isntitusi lain dan pihak terkait, penulis yakin visi-misi DJBC tak akan tercapai.
Seorang bijak mengatakan,”Allah lebih menyukai kegiatan yang sedikit tapi terus menerus (dawam), bukan menggebu-gebu di awal waktu (walaupun out put-nya banyak).” Atau jika penulis boleh ber-analog, ejakulasi dini itu kan satu kelainan (penyakit yang di-eufimistis adat ketimuran). Jangankan pihak wanita, pihak pria yang mengalami nya (walaupun sama-sama ejakulasi hanya ada persoalan “dini” dan “tidak dini”) pun merasa tertekan, minder, dan malu. Padahal contoh tersebut sekedar kasus yang hanya melibatkan dua pihak: pria dan wanita. Apa jadinya jika DJBC bersifat “ejakulasi dini” terhadap kebijakan yang melibatkan puluhan bahkan ratusan pihak yang berkepentingan?
Yang terakhir, sekarang telah ditabuh genderang era reformasi kepabeanan dan cukai? Agar berhasil, penulis memiliki saran, “Ingatlah bahaya ejakulasi dini!” Dan penulis yakin untuk terakhir ini pasti ingat.

****
Penulis Adalah Staff Direktorat Cukai

Tidak ada komentar:

Posting Komentar